Oleh
: Umi Harida
“Tok,
tok, tok!!!” suara ketukan pintu terdengar.
Kubuka pintu kamar secara perlahan. Wajah ibuku tampak tersenyum hangat kepadaku. Beliau meminta diriku untuk bergabung sarapan bersama anggota keluarga yang lain. Aku pun menganggukkan kepala dan mengikuti ibu dari belakang menuju ruang makan. Di ruang makan anggota keluargaku sudah duduk di tempat duduk masing – masing. Berbagai menu makanan sudah tersaji di meja makan. Kami menikmati makan dengan suasana kekeluargaan yang hangat. Setelah makan aku kembali ke kamar. Kuambil remot televisi di meja riasku. Kupilih – pilih serial televisi kesukaanku. Kuikuti setiap alur cerita pada film itu dengan santai. Tak tertinggal camilan yang sudah kusiapkan setiap harinya. Sampai akhirnya film itu bersambung untuk hari berikutnya.
Seolah
kuterseret pada alur film yang telah kulihat. Pada peristiwa dua aktor pemeran
film, dua orang muda mudi memainkan aksi perpisahan disaat cinta bersemi diantara
mereka. Aku membayangkan diriku sendiri yang memiliki situasi sama dengan
mereka. Saat ini memang aku sedang dilanda kerinduan kepada seorang kekasih
yang sedang merantau ke luar negeri. Aku berpisah dengannya karena keadaan yang
mengharuskan kami untuk berpisah demi masa depan kami berdua. Kami memiliki
mimpi untuk melanjutkan hubungan yang lebih indah. Hubungan yang erat, selalu
menyatukan kami hingga akhir hayat. Hubungan yang terikat dalam tali
pernikahan.
Kami
berpisah pada waktu sore hari. Senja yang
menjadi saksi dua orang manusia yang terikat jalinan kasih harus saling merindu
untuk hari – hari sepi berikutnya setelah perpisahan. Di pelabuhan itu aku
melepas kekasihku dengan tetesan air mata yang tidak mungkin aku bendung. Perlahan
– lahan kapal yang dinaiki kekasihku pergi menjauh. Aku belum beranjak dari
tempatku berdiri, hingga akhirnya kapal itu sudah tidak terlihat lagi dari
pelupuk mataku. Air mataku masih menetes otomatis menandakan kepedihan yang mendalam
hatiku saat itu. Hanya sebuah surat yang masih ada dalam genggaman tanganku.
Surat itu kuterima dari kekasihku sebelum dia naik kapal. Dia melarangku untuk
membaca surat itu dihadapannya. Dia memintaku untuk membacanya ketika aku sudah
kembali ke rumah.
Aku
sudah tidak sabar lagi untuk membaca surat yang diberikan kekasihku. Aku
penasaran dengan isi surat itu. Sebelum
“Sayang, aku sangat mengerti apa
yang kamu rasakan saat ini. Ketika kamu membaca surat ini mungkin kapalku sudah
berlayar sangat jauh. Meskipun demikian hatiku tidaklah jauh juga karena hatimu
dan hatiku telah menyatu erat. Dirimu selalu bersamaku meskipun hanya
bayanganmu di sisiku. Kepergianku bukanlah untuk selamanya. Kepergianku
hanyalah untuk sementara. Kepergianku untuk kembali bersamamu. Kepergianku akan
memberi harapan baru untuk masa depan kita. Jika sudah saatnya tiba aku datang
kembali di sisimu, saat itulah kita akan mewujudkan janji suci yang pernah kita
ucapkan. Tunggulah aku dengan senyuman manismu, dengan harapan – harapan indah
kita. Aku di sini akan berjuang untuk kebahagiaan kita kelak.
Itulah
isi dari surat kekasihku yang sampai saat ini masih kusimpan sebagai penghibur
di saat kerinduanku kepadanya datang mengganggu. Tersungging senyum di wajahku
setelah membaca isi surat itu. Besar harapanku untuk berjumpa dengannya
kembali. Surat itu kumasukkan kembali dalam amplopnya yang diukir indah oleh
tangan kekasihku. Ukiran bunga mawar merah dengan beberapa helai daun yang
indah sebagai simbol kasih sayangnya kepadaku. Hari demi hari kulalui hari –
hariku tanpa dia. Bulan pun berganti dengan cepat.
“Permisi,”
terdengar suara tamu dari luar.
Aku
segera berjalan keluar. Kubuka pintu, terlihat seorang figur bapak yang
setengah tua berbaju seragam dan memakai helm yang berwarna sama yaitu oranye.
Sepeda motornya pun berwarna oranye dengan membawa kantong kain besar yang
tergantung di bagian jok belakang sepeda montor. Ya, itulah tukang pos
pengantar surat. Beliau tersenyum hangat kepadaku seolah – olah tersenyum
kepada putrinya sendiri. Beliau melangkah santai ke arahku dengan membawa
sebuah surat di tangannya. Beliau menyodorkan sebuah surat kepadaku. Aku
tersenyum setelah menerima surat itu. Kubaca asal alamat surat itu dibuat.
Malysia, ya surat itu berasal dari Malaysia. Hatiku berbunga – bunga menatapnya.
Sampai – sampai ucapan bapak tukang pos berpamitan pulang nyaris takkuhiraukan.
Tukang pos itu hanya tersenyum saja melihat tingkahku sambil berlalu menuju
sepeda montornya. Aku tidak segera masuk ke dalam rumah. Aku duduk di teras
rumah, kemudian membaca surat itu. Surat yang selalu kutunggu – tunggu
kedatangannya. Surat dari seorang kekasih yang sedang dilanda kerinduan yang
mendalam. Seperti biasa isi surat itu berisikan rasa rindu dan harapan –
harapan indah tentang masa depan antara dua manusia yang terjerat dalam kasih
yang suci. Setelah menutup surat itu, aku masuk ke dalam rumah.
“Siapa
yang datang, Nak?” tanya ibuku.
Aku
menjawab bahwa yang datang adalah tukang pos yang mengantarkan surat kepadaku.
Surat dari Mas Roni, nama kekasihku. Ibuku tersenyum, menanggapi perkataanku.
Seolah – olah mengerti bahwa aku bahagia atas kedatangan surat itu sebagai
perwakilan datangnya mas Roni. Aku masuk kamar. Kutatap langit – langit
kamarku. Kuperhatikan didnding – dinding dengan beberapa foto tergantung membisu.
Hening, sunyi kurasa.
“Apakah
aku hanya seperti ini setiap hari. Hanya menunggu waktu berlalu. Makan, tidur,
dan mengerjakan pekerjaan rumah yang menjadi kegiatan rutinanku.”
Hatiku
bergejolak, kebosanan mulai kurasakan. Aku hanya bisa berangan – angan yang
entah bisa terwujud ataukah tidak. Pikiranku melayang – layang mengembara.
Merajut mimpi – mimpi indah yang menjadi harapan masa depan.
“Tidak,
aku tidak boleh berdiam diri seperti ini,” protes hatiku.
Dalam
hatiku terbesit keinginan untuk membantu Mas Roni untuk mengumpulkan biaya
pernikahan kami. Kemudian aku punya gagasan untuk mencari pekerjaan. Hal ini
juga sudah pernah aku sampaikan kepada kekasihku melalui sebuah surat, dan
syukurlah dia mengizinkan meskipun sebenarnya dia keberatan karena tidak ingin
aku merasa terlalu capek. Aku berpikir untuk pergi ke rumah teman yang kebetulan
satu kampung denganku. Aku ingin bertanya kepadanya barangkali masih ada
lowongan pekerjaan di pabrik sandal tempat dia bekerja. Ketika aku sampai di
rumahnya secara kebetulan dia membuka pintu rumahnya. Dia melambaikan tangannya
ke arahku saat melihatku yang masih belum sampai di depan rumahnya.
“Hai,
Din!” sapa Mita kepadaku sambil melambaikan tangannya.
Aku
membalas sapaanya sambil melambaikan tangan juga ke arahnya. Mita adalah teman
sekolahku ketika di SMA. Kebetulan dia adalah teman sebangkuku. Dia anaknya rajin
dan pintar. Dia tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,
bangku kuliah karena keterbatasan ekonomi seperti halnya diriku. Dia memilih
bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Aku juga demikian memilih untuk
bekerja karena tidak ada biaya untuk melanjutkan kuliah. Setelah bertemu Mas
Roni dan akan merencanakan pernikahan Mas Roni melarangku untuk bekerja. Dia merasa
sebagai seorang suami dialah yang harus bertanggung jawab dalam pemenhan
kebutuhan kami kelak. Aku menurut saja begitu pula dengan orang tuaku yang
menyetujui keputusannya. Buktinya selama merantau, dia masih mengirimkan biaya
kehidupanku sehari – hari. Hal itu menunjukkan bahwa dia benar – benar bertanggung
jawab atas perkataannya. Oleh karena itulah aku percaya padanya. Tapi sekarang
aku merasa tidak tega membiarkan dia banting tulang sendiri mencari biaya
pernikahan kami. Untuk itu aku berkirim surat kepadanya untuk meminta izin agar
aku diperbolehkan bekerja kembali agar kami bisa segera mewujudkan impian kami
untuk hidup bersama tanpa harus dipisahkan jarak yang sangat jauh dengan waktu
yang terlalu lama. Karena izin darinyalah aku menanyakan pekerjaan kepada Mita,
temanku. Mungkin sudah menjadi rezekiku ternyata masih ada lowongan pekerjaan
di pabrik Mita. aku sangat bersyukur. Aku
segera membuat lamaran pekerjaan setelah kembali dari rumah Mita. Kabar gembira
ini juga akan kusampaikan kepada calon
suamiku, Mas Roni melalui surat. Dia pastinya juga akan merasa bahagia seperti
halnya diriku. Semoga dengan begini dia akan segera kembali dari perantauannya
dan mencari pekerjaan di sini sehingga kami akan bertemu setiap hari setelah
menikah nanti layaknya kehidupan rumah tangga pada umumnya.
Hari
sudah menjelang sore. Aku melakukan tugas sehari – hari membersihkan rumah. Setelah
itu aku membersihkan diri kemudian menyiapkan makanan untuk makan malam nanti. Setelah
semua beres aku duduk – duduk santai di teras rumah. Ku tatap langit senja sore
hari itu. Angin sepoi – sepoi menyapu wajahku. Burung – burung kembali ke
peraduannya setelah lelah mencari makanan pengisi perutnya. Suara anak- anaknya
menyambut gembira kedatangan induk mereka. Di ufuk barat Sang Mentari seolah –
olah akan berpamitan kepadaku. Sinarnya yang semula berwarna cerah menerangi
langit siang hari kini mulai berubah warna menjadi warna jingga. Imajinasiku
bermain seperti layaknya seorang penulis syair. Melihat mentari tersenyum manis
sembari menoleh ke arahku, dan dia berucap,
“Sampai jumpa esok hari.”
Aku
membalas senyuman dan sapaan Sang Mentari dengan melambaikan tangan ke arahnya.
Tidak lama dia tenggelam, menghilang tanpa meninggalkan bekas. Bergantilah
malam yang datang. Angin malam semakin menusuk kulit. Bintang – bintang
terlihat jauh disana mungil berkelap – kelip indah. Bulan sabit tampak di
tengah – tengah mendampingi mereka.
“Hei,
engkau Sang Rembulan dan Para Bintang! Jauh sekali saat aku melihat kalian dari
bumi tempatku berpijak ini. Ingin rasanya aku menggapaimu. Tapi apalah daya tangan
ini tak sampai. Aku hanya bisa memandangmu dari jauh. Sejauh angan – anganku untuk
bertemu dengan kekasihku. Meskipun aku tidak akan pernah bisa meraihmu, namun
aku masih bisa melihatmu. Seperti halnya aku tidak bisa bertemu langsung dengan
kekasihku, tetapi aku masih bisa berjumpa dengannya lewat surat dan mimpi –
mimpi indah. Semoga dia yang di sana segera kembali kepadaku.”
Aku
mencurahkan isi hatiku kepada bulan dan bintang – bintang yang ada jauh di atas
rumahku. Aku segera masuk rumah dan menuju kamar. Kututup jendela kamar. Lalu kuraih
remot televisi dan aku pilih film kesukaanku. Ketika sedang asyik – asyiknya melihat
film, kudengar suara seorang laki – laki memanggil namaku, suara yang tidak
asing lagi di telingaku karena suara itu sering aku dengar, tetapi suara itu
bukanlah suara ayahku. Suara khas itu adalah suara khas kekasihku, Mas Roni. Tapi
tidaklah mungkin itu dirinya karena dia berada jauh di negeri seberang. Mungkin
juga sebenarnya itu adalah suara ayah yang memanggil, tetapi karena sangat
rindunya diriku kepada Mas Roni sehingga suara ayah berubah seperti suara
kekasihku. Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu. Alangkah kagetnya
diriku, seperti sebuah mimpi yang nyata sampai – sampai aku tidak bisa berkata –
kata. Seorang laki – laki berdiri di hadapanku tersenyum manis kepadaku. Dia meraih
kedua tanganku.
“Sayang,
aku sangat merindukanmu,” kata laki – laki itu.
“Mas,
Mas Roni,” kataku terbata – bata menyebut nama laki – laki di hadapanku yang
tidak lain adalah kekasihku.
Aku
merasa tidak mempercayai hal itu. Aku mencoba mencubit lengan kekasihku. Dia berteriak
lumayan kencang karena mungkin merasa kesakitan. Dengan terikannya itu barulah
aku menyadari bahwa itu bukanlah mimpi. Di tengah – tengah kerinduanku yang
memuncak, dia telah menepati janjinya untuk kembali kepadaku. Kami saling berpelukan
untuk melepaskan rindu hingga tidak menyadari orang tuaku memperhatikan kami. Mereka
terlihat bahagia melihat kami yang sedang bahagia. Berakhir sudah penantianku. Sudah
saatnya kami mewujudkan janji suci dan mimpi indah untuk hidup bersama dan bahagia
bersama sampai kami menua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar