Senin, 12 Agustus 2024

CERPEN : BERAKHIR SUDAH PENANTIANKU

 

BERAKHIR SUDAH PENANTIANKU

Oleh : Umi Harida

 

“Tok, tok, tok!!!” suara ketukan pintu terdengar.

Kubuka pintu kamar secara perlahan. Wajah ibuku tampak tersenyum hangat kepadaku. Beliau meminta diriku untuk bergabung sarapan bersama anggota keluarga yang lain. Aku pun menganggukkan kepala dan mengikuti ibu dari belakang menuju ruang makan. Di ruang makan anggota keluargaku sudah duduk di tempat duduk masing – masing. Berbagai menu makanan sudah tersaji di meja makan. Kami menikmati makan dengan suasana kekeluargaan yang hangat. Setelah makan aku kembali ke kamar. Kuambil remot televisi di meja riasku. Kupilih – pilih serial televisi kesukaanku. Kuikuti setiap alur cerita pada film itu dengan santai. Tak tertinggal camilan yang sudah kusiapkan setiap harinya. Sampai  akhirnya film itu bersambung untuk hari berikutnya.

Seolah kuterseret pada alur film yang telah kulihat. Pada peristiwa dua aktor pemeran film, dua orang muda mudi memainkan aksi perpisahan disaat cinta bersemi diantara mereka. Aku membayangkan diriku sendiri yang memiliki situasi sama dengan mereka. Saat ini memang aku sedang dilanda kerinduan kepada seorang kekasih yang sedang merantau ke luar negeri. Aku berpisah dengannya karena keadaan yang mengharuskan kami untuk berpisah demi masa depan kami berdua. Kami memiliki mimpi untuk melanjutkan hubungan yang lebih indah. Hubungan yang erat, selalu menyatukan kami hingga akhir hayat. Hubungan yang terikat dalam tali pernikahan.

Kami berpisah pada waktu sore hari.  Senja yang menjadi saksi dua orang manusia yang terikat jalinan kasih harus saling merindu untuk hari – hari sepi berikutnya setelah perpisahan. Di pelabuhan itu aku melepas kekasihku dengan tetesan air mata yang tidak mungkin aku bendung. Perlahan – lahan kapal yang dinaiki kekasihku pergi menjauh. Aku belum beranjak dari tempatku berdiri, hingga akhirnya kapal itu sudah tidak terlihat lagi dari pelupuk mataku. Air mataku masih menetes otomatis menandakan kepedihan yang mendalam hatiku saat itu. Hanya sebuah surat yang masih ada dalam genggaman tanganku. Surat itu kuterima dari kekasihku sebelum dia naik kapal. Dia melarangku untuk membaca surat itu dihadapannya. Dia memintaku untuk membacanya ketika aku sudah kembali ke rumah.

Aku sudah tidak sabar lagi untuk membaca surat yang diberikan kekasihku. Aku penasaran dengan isi surat itu. Sebelum

“Sayang, aku sangat mengerti apa yang kamu rasakan saat ini. Ketika kamu membaca surat ini mungkin kapalku sudah berlayar sangat jauh. Meskipun demikian hatiku tidaklah jauh juga karena hatimu dan hatiku telah menyatu erat. Dirimu selalu bersamaku meskipun hanya bayanganmu di sisiku. Kepergianku bukanlah untuk selamanya. Kepergianku hanyalah untuk sementara. Kepergianku untuk kembali bersamamu. Kepergianku akan memberi harapan baru untuk masa depan kita. Jika sudah saatnya tiba aku datang kembali di sisimu, saat itulah kita akan mewujudkan janji suci yang pernah kita ucapkan. Tunggulah aku dengan senyuman manismu, dengan harapan – harapan indah kita. Aku di sini akan berjuang untuk kebahagiaan kita kelak.

Itulah isi dari surat kekasihku yang sampai saat ini masih kusimpan sebagai penghibur di saat kerinduanku kepadanya datang mengganggu. Tersungging senyum di wajahku setelah membaca isi surat itu. Besar harapanku untuk berjumpa dengannya kembali. Surat itu kumasukkan kembali dalam amplopnya yang diukir indah oleh tangan kekasihku. Ukiran bunga mawar merah dengan beberapa helai daun yang indah sebagai simbol kasih sayangnya kepadaku. Hari demi hari kulalui hari – hariku tanpa dia. Bulan pun berganti dengan cepat.

“Permisi,” terdengar suara tamu dari luar.

Aku segera berjalan keluar. Kubuka pintu, terlihat seorang figur bapak yang setengah tua berbaju seragam dan memakai helm yang berwarna sama yaitu oranye. Sepeda motornya pun berwarna oranye dengan membawa kantong kain besar yang tergantung di bagian jok belakang sepeda montor. Ya, itulah tukang pos pengantar surat. Beliau tersenyum hangat kepadaku seolah – olah tersenyum kepada putrinya sendiri. Beliau melangkah santai ke arahku dengan membawa sebuah surat di tangannya. Beliau menyodorkan sebuah surat kepadaku. Aku tersenyum setelah menerima surat itu. Kubaca asal alamat surat itu dibuat. Malysia, ya surat itu berasal dari Malaysia. Hatiku berbunga – bunga menatapnya. Sampai – sampai ucapan bapak tukang pos berpamitan pulang nyaris takkuhiraukan. Tukang pos itu hanya tersenyum saja melihat tingkahku sambil berlalu menuju sepeda montornya. Aku tidak segera masuk ke dalam rumah. Aku duduk di teras rumah, kemudian membaca surat itu. Surat yang selalu kutunggu – tunggu kedatangannya. Surat dari seorang kekasih yang sedang dilanda kerinduan yang mendalam. Seperti biasa isi surat itu berisikan rasa rindu dan harapan – harapan indah tentang masa depan antara dua manusia yang terjerat dalam kasih yang suci. Setelah menutup surat itu, aku masuk ke dalam rumah.

“Siapa yang datang, Nak?” tanya ibuku.

Aku menjawab bahwa yang datang adalah tukang pos yang mengantarkan surat kepadaku. Surat dari Mas Roni, nama kekasihku. Ibuku tersenyum, menanggapi perkataanku. Seolah – olah mengerti bahwa aku bahagia atas kedatangan surat itu sebagai perwakilan datangnya mas Roni. Aku masuk kamar. Kutatap langit – langit kamarku. Kuperhatikan didnding – dinding dengan beberapa foto tergantung membisu. Hening, sunyi kurasa.

“Apakah aku hanya seperti ini setiap hari. Hanya menunggu waktu berlalu. Makan, tidur, dan mengerjakan pekerjaan rumah yang menjadi kegiatan rutinanku.”

Hatiku bergejolak, kebosanan mulai kurasakan. Aku hanya bisa berangan – angan yang entah bisa terwujud ataukah tidak. Pikiranku melayang – layang mengembara. Merajut mimpi – mimpi indah yang menjadi harapan masa depan.

“Tidak, aku tidak boleh berdiam diri seperti ini,” protes hatiku.

Dalam hatiku terbesit keinginan untuk membantu Mas Roni untuk mengumpulkan biaya pernikahan kami. Kemudian aku punya gagasan untuk mencari pekerjaan. Hal ini juga sudah pernah aku sampaikan kepada kekasihku melalui sebuah surat, dan syukurlah dia mengizinkan meskipun sebenarnya dia keberatan karena tidak ingin aku merasa terlalu capek. Aku berpikir untuk pergi ke rumah teman yang kebetulan satu kampung denganku. Aku ingin bertanya kepadanya barangkali masih ada lowongan pekerjaan di pabrik sandal tempat dia bekerja. Ketika aku sampai di rumahnya secara kebetulan dia membuka pintu rumahnya. Dia melambaikan tangannya ke arahku saat melihatku yang masih belum sampai di depan rumahnya.

“Hai, Din!” sapa Mita kepadaku sambil melambaikan tangannya.

Aku membalas sapaanya sambil melambaikan tangan juga ke arahnya. Mita adalah teman sekolahku ketika di SMA. Kebetulan dia adalah teman sebangkuku. Dia anaknya rajin dan pintar. Dia tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bangku kuliah karena keterbatasan ekonomi seperti halnya diriku. Dia memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Aku juga demikian memilih untuk bekerja karena tidak ada biaya untuk melanjutkan kuliah. Setelah bertemu Mas Roni dan akan merencanakan pernikahan Mas Roni melarangku untuk bekerja. Dia merasa sebagai seorang suami dialah yang harus bertanggung jawab dalam pemenhan kebutuhan kami kelak. Aku menurut saja begitu pula dengan orang tuaku yang menyetujui keputusannya. Buktinya selama merantau, dia masih mengirimkan biaya kehidupanku sehari – hari. Hal itu menunjukkan bahwa dia benar – benar bertanggung jawab atas perkataannya. Oleh karena itulah aku percaya padanya. Tapi sekarang aku merasa tidak tega membiarkan dia banting tulang sendiri mencari biaya pernikahan kami. Untuk itu aku berkirim surat kepadanya untuk meminta izin agar aku diperbolehkan bekerja kembali agar kami bisa segera mewujudkan impian kami untuk hidup bersama tanpa harus dipisahkan jarak yang sangat jauh dengan waktu yang terlalu lama. Karena izin darinyalah aku menanyakan pekerjaan kepada Mita, temanku. Mungkin sudah menjadi rezekiku ternyata masih ada lowongan pekerjaan di pabrik Mita. aku  sangat bersyukur. Aku segera membuat lamaran pekerjaan setelah kembali dari rumah Mita. Kabar gembira ini juga akan  kusampaikan kepada calon suamiku, Mas Roni melalui surat. Dia pastinya juga akan merasa bahagia seperti halnya diriku. Semoga dengan begini dia akan segera kembali dari perantauannya dan mencari pekerjaan di sini sehingga kami akan bertemu setiap hari setelah menikah nanti layaknya kehidupan rumah tangga pada umumnya.

Hari sudah menjelang sore. Aku melakukan tugas sehari – hari membersihkan rumah. Setelah itu aku membersihkan diri kemudian menyiapkan makanan untuk makan malam nanti. Setelah semua beres aku duduk – duduk santai di teras rumah. Ku tatap langit senja sore hari itu. Angin sepoi – sepoi menyapu wajahku. Burung – burung kembali ke peraduannya setelah lelah mencari makanan pengisi perutnya. Suara anak- anaknya menyambut gembira kedatangan induk mereka. Di ufuk barat Sang Mentari seolah – olah akan berpamitan kepadaku. Sinarnya yang semula berwarna cerah menerangi langit siang hari kini mulai berubah warna menjadi warna jingga. Imajinasiku bermain seperti layaknya seorang penulis syair. Melihat mentari tersenyum manis sembari menoleh ke arahku, dan dia berucap,

            “Sampai jumpa esok hari.”

Aku membalas senyuman dan sapaan Sang Mentari dengan melambaikan tangan ke arahnya. Tidak lama dia tenggelam, menghilang tanpa meninggalkan bekas. Bergantilah malam yang datang. Angin malam semakin menusuk kulit. Bintang – bintang terlihat jauh disana mungil berkelap – kelip indah. Bulan sabit tampak di tengah – tengah mendampingi mereka.

“Hei, engkau Sang Rembulan dan Para Bintang! Jauh sekali saat aku melihat kalian dari bumi tempatku berpijak ini. Ingin rasanya aku menggapaimu. Tapi apalah daya tangan ini tak sampai. Aku hanya bisa memandangmu dari jauh. Sejauh angan – anganku untuk bertemu dengan kekasihku. Meskipun aku tidak akan pernah bisa meraihmu, namun aku masih bisa melihatmu. Seperti halnya aku tidak bisa bertemu langsung dengan kekasihku, tetapi aku masih bisa berjumpa dengannya lewat surat dan mimpi – mimpi indah. Semoga dia yang di sana segera kembali kepadaku.”

Aku mencurahkan isi hatiku kepada bulan dan bintang – bintang yang ada jauh di atas rumahku. Aku segera masuk rumah dan menuju kamar. Kututup jendela kamar. Lalu kuraih remot televisi dan aku pilih film kesukaanku. Ketika sedang asyik – asyiknya melihat film, kudengar suara seorang laki – laki memanggil namaku, suara yang tidak asing lagi di telingaku karena suara itu sering aku dengar, tetapi suara itu bukanlah suara ayahku. Suara khas itu adalah suara khas kekasihku, Mas Roni. Tapi tidaklah mungkin itu dirinya karena dia berada jauh di negeri seberang. Mungkin juga sebenarnya itu adalah suara ayah yang memanggil, tetapi karena sangat rindunya diriku kepada Mas Roni sehingga suara ayah berubah seperti suara kekasihku. Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu. Alangkah kagetnya diriku, seperti sebuah mimpi yang nyata sampai – sampai aku tidak bisa berkata – kata. Seorang laki – laki berdiri di hadapanku tersenyum manis kepadaku. Dia meraih kedua tanganku.

“Sayang, aku sangat merindukanmu,” kata laki – laki itu.

“Mas, Mas Roni,” kataku terbata – bata menyebut nama laki – laki di hadapanku yang tidak lain adalah kekasihku.

Aku merasa tidak mempercayai hal itu. Aku mencoba mencubit lengan kekasihku. Dia berteriak lumayan kencang karena mungkin merasa kesakitan. Dengan terikannya itu barulah aku menyadari bahwa itu bukanlah mimpi. Di tengah – tengah kerinduanku yang memuncak, dia telah menepati janjinya untuk kembali kepadaku. Kami saling berpelukan untuk melepaskan rindu hingga tidak menyadari orang tuaku memperhatikan kami. Mereka terlihat bahagia melihat kami yang sedang bahagia. Berakhir sudah penantianku. Sudah saatnya kami mewujudkan janji suci dan mimpi indah untuk hidup bersama dan bahagia bersama sampai kami menua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI : AKHIR KISAH CINTA

 PUISI : AKHIR KISAH CINTA