Oleh : Umi Harida
Seperti biasanya nenek bangun dini hari sebelum Aku bangun. Beliau adalah seorang nenek yang penuh kasih. Kulitnya yang sudah keriput menunjukkan betapa besarnya beliau. Rambutnya yang putih menunjukkan bahwa dia sudah banyak makan asam dan garam. Meskipun begitu nenek masih mahir dalam setiap aktivitas sehari – hari. Aroma masakan tercium menyengat sampai ke kamar sudah jelas bahwa nenek berada di dapur.
“Hmmmmh, sedap sekali,”gumamku.
Aku hanya tinggal berdua saja dengan nenek. Sejak aku berumur lima tahun, nenek sudah merawatku, tanpa ayah maupun ibu. Ya, ibuku pergi entah kemana. Menurut cerita nenek, ibu pergi mencari pekerjaan di kota semenjak ayahku meninggal. Tapi sampai kini ibu belum pernah kembali. Entah dia masih mengingat aku dan nenek atau tidak. Bagaimana kami bisa berkomunikasi sedangkan kami tidak memiliki nomor kontaknya. Aku berharap ibuku baik – baik saja dimanapun dia berada.
Pagi ini cerah sekali. Aku sudah bersiap – siap berangkat sekolah. Selesai mandi kubuka lemari kayu di dalam kamar. Terdengar suara pintu lemari yang sudah tua. Lemari kayu yang rapuh, yang seharusnya diganti lebih layak. Catnya yang sudah pudar juga sudah mengelupas. Aku mengambil seragam putih abu – abu khas anak SMA. Seragam yang terlihat kurang rapi karena tidak pernah menyentuh seterika. Ditambah lagi dengan perubahan seragam warna putih yang mendekati warna krem. Meski begitu aku tetap bersyukur masih bisa bersekolah. Saat ini aku duduk di kelas tiga SMA. Sebentar lagi akan lulus. Aku belum tahu bagaimana kelanjutan pendidikanku. Apakah saya melanjutkan kuliah ataukah bekerja. Untuk kuliah rasanya tidak mungkin karena pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika bekerja juga aku bingung harus bekerja apa dengan lulusan SMA apalagi aku tidak punya pengalaman kerja. Setiap harinya aku memang bekerja setelah pulang sekolah. Saya bekerja sebagai pedagang asongan. Bergelut dengan suara bising kendaraan dan debu. Lelah pikiranku, capek tubuhku, serta mataku yang ketakutan tak pernah merasakan demi untuk mendapatkan isi perut supaya tetap bisa bertahan hidup dan tetap bisa mengenyam bangku pendidikan. Aku rela melawan derasnya arus dan kerasnya kehidupan.
Setelah sarapan aku berpamitan kepada nenek untuk berangkat ke sekolah. Kukayuh sepeda bututku. Kutelusuri jalan desa yang lumayan dengan kerikil dan batu, maklum masih daerah pedesaan. Terhampar luas sawah – sawah penduduk yang menghijau sehingga menyejukkan mata yang memandang. Kulihat samar – samar gunung di bawah langit yang jauh di sana, tampak seperti lukisan gunung yang berwarna tanpa terlihat seperti aslinya yang penuh batu – batu besar di badan gunung. Peluh terasa menetes di tubuhku karena tenaga yang kukeluarkan saat mengayuh sepeda menuju sekolah yang jaraknya lumayan jauh. Aku istirahat sebentar di parkiran sepeda setelah aku sampai di sekolah.
Lelah tubuhku sudah lumayan hilang. Bel masuk terdengar sangat nyaring di telinga. Akusegera memasuki ruangan kelas. Di sana sudah ada beberapa teman yang telah duduk di tempat duduknya masing – masing. Mereka sudah datang jauh lebih awal dariku karena beberapa dari mereka tidak berangkat menggunakan kendaraan sepeda angin seperti diriku. Sebagian besar dari mereka sudah difasilitasi oleh orang tua mereka dengan kendaraan bermotor, bahkan ada juga beberapa anak yang diantar jemput oleh orang tua juga sopir mereka bagi anak – anak yang tergolong kalangan ekonomi atas. Kadang-kadang sekilas terbesit rasa iri di hati melihat keberuntungan mereka dengan keadaan ekonomi jauh di atasku. Aku segera sadar bahwa Tuhan menciptakan manusia tidaklah sama secara materi, tapi di hadapan Tuhan tetaplah sama berkat perbuatan masing – masing makhluknya. Setiap manusia memiliki nasib masing – masing dengan ujian yang berbeda. Seperti yang kualami sekarang, saya harus bisa melalui ujian ini. Aku tidak ingin seperti ini terus. Aku harus bangkit dan sukses kelak. Aku harus bisa memotivasi diriku sendiri agar bisa lebih maju. Aku masih mempunyai mimpi yang masih harus kugapai meskipun pasti banyak halang rintangan yang akan kuhadapi. Aku harus bisa menghalau dan menepis rintangan itu.
Pak Johan, guru mata pelajaran Bahasa Inggris sebagai pengajar mata pelajaran pertama di kelasku sudah memasuki kelas. Anak – anak duduk dengan tenang memperhatikan materi pelajaran yang disampaikan beliau. Tak satupun anak berani bercanda. Pak Johan orangnya sangat disiplin. Didukung dengan postur tubuh yang tegap, gagah, dan gagah membuat beliau terlihat enak dipandang. Meskipun demikian bukan berarti orangnya garang, malah sebaliknya ia adalah seorang guru yang ramah. Kami senang belajar bersama beliau. Saat pelajaran Bahasa Inggris hampir selesai, terdengar panggilan melalui speaker yang menyebut namaku yang menyuruhku datang ke ruang administrasi sekolah. Aku tahu permasalahan apa yang akan kuhadapi. Ya, aku sudah tiga bulan tidak membayar uang sekolah.
“Ya Tuhan, sampai kapan ini berakhir,” tanyaku dalam hati sambil berjalan menuju ruang administrasi sekolah dengan langkah yang lesu.
Bagaimana
aku harus membayar uang sekolah, sedangkan penghasilanku dari berdagang asongan
saja belum cukup untuk menutup semua kebutuhan hidup sehari – hari. Hanya saja
aku selalu bersyukur, kami masih bisa makan meskipun dengan menu sederhana. Kuketuk
pintu ruang administrasi, seorang petugas administrasi mempersilahkan duduk.
Seperti bulan – bulan sebelumnya, pertanyaan yang sama yang kujawab dengan
jawaban yang sama. Ya, pertanyaan tentang pembayaran sekolah. Hanya bedanya
kali ini ada tambahan pernyataan yang kuterima. Petugas administrasi itu
memberitahuku bahwa jika aku tidak membayar sekolah maka aku tidak bisa
mengikuti ujian akhir. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kelulusanku. Aku
hanya bisa menjawab akan mengusahakan
uang pembayaran sekolah. Aku kembali ke kelas dengan memawa beban pikiran yang
tidak seharusnya aku tanggung jika aku menjadi anak dari orang tua dengan
ekonomi yang mampu.
“Ya,
Tuhan aku hanya bisa pasrah dengan segala kelemahanku,” ucapku dalam hati.
Aku
kuatkan hati dan pikiran. Aku percaya Tuhan tidak akan diam melihat usaha
hambanya. Dia aka merubah nasib hambanya yang mau berusaha. Aku kembali
mengikuti pelajaran berikutnya karena jam pelajaran Pak Johan sudah habis.
beliau tentunya sudah mengajar kelas lain. Kali ini aku tidak bisa fokus
belajar, tidak seperti waktu sebelum pemanggilan namaku oleh petugas
administrasi sekolah. Pikiranku tertuju kepada cara mendapatkan uang untuk
membayar sekolah. Materi pelajaran yang disampaikan guru – guru yang masuk ke
kelasku tidak bisa aku serap dengan baik. Hingga akhirnya bel istirahat
berbunyi. Teman – teman bersuka cita keluar kelas pergi ke kantin untuk membeli
makanandan minuman. Aku sendiri masih di dalam kelas karena tidak berniat untuk
jajan karena aku tidak memiliki uang lebih untuk jajan. Uang penghasilanku
menjadi pedagang asongan aku fokuskan untuk makan sehari – hari dan membayar
uang sekolah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku nanti bisa membayar
uang kuliah, sedangkan untuk membayar sekolah pedidikan menengah saja aku
selalu nunggak. Mungkin kuliah hanya ada dalam angan – anganku saja. Bagaimana
dengan harapanku untuk menjadi orang sukses kelak? Aku sendiri belum bisa
menjawab pertanyaan – pertanyaan itu dengan kondisi ekonomiku seperti saat ini.
Bel
masuk kembali berbunyi. anak – anak kembali masuk kelas kemudian dilanjutkan
dengan pembelajaran berikutnya sesuai jadwal. Jika menurut jadwal masih ada
tiga jam pelajaran lagi untuk menunggu istirahat kedua setiap jam pelajaran
yang kami terima berdurasi 45 menit. Belum memasuki istirahat jam kedua,
terdengar kembali panggilan untuk diriku untuk ke ruang administrasi.
“Ada
apa lagi…..ini”, gumamku agak kesal.
Kembali
kulangkahkan kaki ini ke ruang administrasi untuk kedua kalinya. Kulihat
kembali wajah petugas administrasi itu. Aneh sekali, kali ini dia melihatku
dengan wajah tersenyum. Aku segera duduk. Untuk mengobati rasa penasaranku, aku
bertanya kepadanya tentang pemanggilanku kembali ke ruangan ini. Aku tersentak
kaget setelah mendengarkan penjelasannya. Dia bilang bahwa aku sudah tidak
perlu memikirkan masalah pembayaran sekolahku lagi, aku sudah terbebas dari
tagihan uang sekolah yang belum terbayar dan dapat mengikuti ujian dengan tenang.
Aku semakin bertanya – tanya dalam hati. Baru tadi pagi aku mendapat peringatan
untuk segera membayar uang sekolah. Tapi kali ini, aku tidak perlu lagi
membayarnya. Lebih heran lagi ketika dia menyebutkan ada seorang wanita yang
telah membayar tunggakan uang sekolahku. Stelah aku tanya nama wanita itu,
petugas itu menolak memberi keterangan. Katanya aku akan mengetahuinya sendiri
sebagai kejutan. Aku mendesak dan memaksa petugas itu untuk mengatakannya,
tetapi tetap saja dia menolaknya. Ya, sudahlah percuma saja aku ngotot
memaksakan diri. Bagaimanapun juga aku bersyukur karena terbebas dari beban
uang sekolah. Namun bagaimana caranya aku berterima kasih kepada wanita yang
telah membantuku. Semoga suatu saat nanti aku mempunyai kesempatan untuk
bertemu dengannya meskipun hanya untuk mengucapkan rasa terima kasih. Aku
permisi untuk kembali ke ruang kelas dengan rasa penasaran.
Di
kelas, temanku menanyakan tentang alasan pemanggilanku kembali ke ruang
administrasi. Tapi aku belum bisa menjelaskannya karena masih ada pelajaran.
Setelah guru keluar dari kelas karena waktu pergantian mata pelajaran lain
barulah aku bercerita kepadanya. Dia ikut senang akan hal itu. dia juga ikut
penasaran tentang wanita itu. Sekarang adalah mata pelajaran terakhir. Itu
artinya pembelajaran hari ini akan segera berakhir. Waktu pulang sekolah akan
segera tiba. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menceritakan peristiwa hari
ini kepada nenek. Waktu pulang yang kutunggupun tiba. Bel panjang berbunyi yang
menandakan waktu pembelajaran di sekolah telah berakhir. Setelah guru menutup
pelajaran, anak – anak berhamburankeluar kelas menuju tempat parkir kendaraan.
Akupun demikian segera mengambil sepeda anginku an mengayuhnya untuk pulang.
Selama dalam perjalanan, aku masih memikirkan peristiwa tak terduga yang
kualami hari ini.
Sampai
di rumah, kuketuk pintu rumaku yang terbuat dari papan dan kuucapkan salam.
Terdengar suara yang menjawab salamku dari dalam. Suara ini bukanlah suara yang
tidak seperti biasanya kudengar. Suara khas seorang nenek yang bersamaan dengan
suara orang lain. Aku segera masuk agar segera mengetahui tamu yang bertandang
ke rumah kami. Kulihat seorang wanita cantik bertubuh langsing dengan bergaun
warna hijau muda tersenyum kepadaku.
“Beni,
anakku,” wanita itu menyebut namaku dengan suara yang terdengar agak lirih.
Aku
menoleh ke arah nenek yang berada di samping wanita itu. Nenek tersenyum dan
mengatakan bahwa wanita itu adalah ibu kandungku. Aku terkejut bercampur tidak
percaya. Wanita yang ada di depanku adalah ibu yang meninggalkan aku sekian
lama hingga aku sendiri tidak mengingat seperti apa wajahnya. Namun sekarang
dia memanggilku sebagai anaknya. Sepertinya aku belum bisa menerima kenyataan
ini.
“Nek,
aku mandi dulu. Aku sudah telat untuk brangkat jualan.” Kataku kepada nenek,
tidak perduli dengan wanita yang mengaku sebagai kandungku itu. aku masih
kecewa atas perlakuannya kepada kami.
“Tunggu
dulu!” kata wanita itu mencegahku pergi.
Wanita
itu mendekatiku, memegang pundakku dan berkata kepadaku dengan lembut. Dia
menyatakan rasa penyesalannya selama ini telah meninggalkan kami. Dia
menjelaskan alasan dia pergi dari rumah dan tidak memberi kabar. Kemudian nenek
mendekatiku. Beliau mencoba untuk menenangkan diriku dan meminta untuk menerima
serta mengakui wanita itu sebagai ibiu kandungku. Beliau menasehatiku untuk
memaafkannya. Sejenak aku berpikir. Aku mengatakan bahwa aku perlu waktu untuk
berpikir.
Aku
mengurungkan niat untuk berjualan. Aku sedang menyendiri di belakang rumah.
Suasana sore yang hampir gelap menemaniku untuk merenung. Haruskah aku menerima
ibuku, ataukah aku harus mengusirnya. Aku teringat kembali peristiwa yang
kualami hari ini di sekolah. Mungkinkah wanita yang dimaksudkan oleh petugas
administrasi sekolah yang telah membayar uang sekolahku itu adalah ibu
kandungku? Ooooooh, aku bingung sekali apa yang harus aku lakukan. Sebuah
tangan membelai rambutku, aku menoleh kearahnya. Ternyata ibu kandungku sudah
berada di belakangku. Entah mulai kapan dia mengamatiku. Kemudian dia duduk di
sampingku, menemaniku menikmati sore hari di belakang rumah. Tiba – tiba dia
bercerita masa kecilku dan kehidupan bahagia kami dulu ketika ayah masih hidup.
Kulihat air mata menetes di pipinya. Entah mengapa hatiku tersentuh
mendengarnya. Kucondongkan badanku ke arah ibu. Kuusap air matanya yang menetes
di pipi. Ibu memandangku dan menyentuh wajahku. Perlahan aku memeluknya.
Kukatakan bahwa aku telah memaafkannya. Aku memintanya untuk tidak
meninggalkanku dannenek lagi. Ibu mengangguk pelan, kemudian mencium keningku.
Hari
mulai gelap. Aku dan ibu masuk rumah. Nenek tersenyum melihat kami bergandengan
tangan. Ibuku telah kembali. Selamat datang , Ibu…….. Selamat datang bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar