Sabtu, 03 Oktober 2020

PUISI PETANI

  PETANI

Oleh : Umi Harida

Petani……..

Tatkala sang surya mengintip di balik awan di ufuk timur

Engkau bangkit dari tidurmu yang lelap

Dengan topi bambu di kepala dan sebuah cangkul di pundak

Kau langkahkan kaki menuju sepetak tanah ujung desa

 

Petani……..

Terik matahari membakar kulit

Butiran peluh mengalir membanjiri tubuh

Tajamnya tanah kering menusuk kaki

Tak kan mampu patahkan semangatmu

 

Saat suara tawa putri kecilmu terngiang terbayang

Senyum menghias bibirmu yang mulai mengering

Mentari selalu setia terbit menyapa

Asamu pun tak kan pernah pupus sirna


CERITA FANTASI : PETUALANGAN JODI MELAWAN RAKSASA

 

Petualangan Jodi Melawan Raksasa

                Matahari siang itu terasa sangat terik sinarnya. Para murid di kelas Jodi belajar terlihat sudah kelelahan menerima pelajaran. Sering kali dia melihat jam dinding yang terpasang di dinding kelas. Jodi adalah salah satu siswa kelas enam. Dia termasuk anak yang rajin di kelasnya. Setiap hari dia harus berjalan kaki pulang pergi sekolah karena tidak memiliki sepeda.

Pelajaran yang diikuti Jodi di sekolah telah usai. Anak – anak berhamburan keluar kelas menuju tempat parkir sekolah, tempat mereka meletakkan sepeda. Ada juga beberapa yang langsung berjalan kaki keluar sekolah karena memang mereka tidak membawa sepeda, termasuk Jodi. Dia berjalan dengan santai di bawah langit yang terang dengan pancaran sinar matahari yang begitu panas. “ Hai, Jod. Aku duluan ya”, sapa temannya yang membawa sepeda. Jodi pun membalasnya dengan ramah.

Siang semakin panas. Rasa haus pun sangat dirasakan oleh Jodi. Dalam perjalanannya Jodi melihat sebuah pohon yang sangat besar dan rindang.

“Wah, rimbun sekali pohon itu. Mungkin enak berteduh di bawahnya”, pikir Jodi. Jodi melangkahkan kedua kakinya ke arah pohon itu. Sesampainya di sana dia segera duduk dan bersandar di bawahnya.

“Ah… enak sekali”, kata Jodi dalam hati sambil menghela nafas panjang. Tiba – tiba pohon itu membawanya terbang ke awan. Di awan Jodi berdiri di depan sebuah istana yang dijaga oleh banyak prajurit. Tiba – tiba ada sebuah suara yang membisikinya.

“Masuklah, Jodi. Selamatkan raja dan keluarganya dalam penjara istana yang ditawan oleh raksasa yang sangat kejam itu”, kata suara gaib itu.

“Tapi, kamu siapa. Lalu mana mungkin aku bisa masuk ke dalam. Banyak prajurit yang berjaga di sana”, kata Jodi.

“Kamu tidak perlu kuatir. Gunakan sebatang kayu yang ada di pohon itu untuk melawan mereka”, kata suara itu. Jodi mengarahkan pandangan ke arah pohon yang membawanya terbang itu. Memang benar ada sebuah kayu yang mengkilat di bawah pohon. Bersamaan dengan munculnya kayu mengkilat itu, suara gaib itu pun menghilang. Jodi segera mengambil kayu itu. Setelah memegang kayu itu keberanian Jodi tiba – tiba muncul. Kayu itu seolah – olah mengarahkannya menuju istana. Ketika prajurit penjaga menghadangnya, kayu yang dipegang Jodi mengeluarkan cahaya yang secara ajaib membuat prajurit – prajurit itu buta. Jodi tidak menyia – nyiakan kesempatan masuk ke dalam istana. Dia mengendap – endap mencari penjara tempat raja dan keluarganya ditahan. Anehnya setiap Jodi bertemu dengan prajurit yang menghadangnya, kayu itu selalu memancarkan cahaya yang membuat buta mata lawannya itu.

Jodi semakin percaya diri. Dia menelusuri setiap ruangan istana. Matanya tertuju pada sebuah lorong gelap. Dia melangkahkan kakinya ke sana. Ternyata itu adalah penjara istana. Jodi melihat sebuah keluarga yang memakai pakaian – pakaian yang diketahuinya sebagai pakaian bangsawan istana. “Mungkin itu keluarga istana yang ditawan”, kata Jodi dalam hati. Dia mulai mendekati penjara itu. Belum sampai di tempat yang dia tuju. Tiba – tiba suara menggelegar menghentikan langkahnya.

“Ha ha ha ha. Siapa kamu hai anak kecil? Berani – beraninya kamu masuk ke istana tanpa seizinku”, kata sosok besar di hadapan Jodi yang tidak lain adalah raksasa. Mata raksasa itu menatap tajam ke arah Jodi.

“Hai Raksasa, bebaskan raja dan keluarganya”, kata Jodi dengan lantang.

“Hm……. Coba saja kamu bebaskan kalau bisa. Kau hanya seorang anak kecil. Dengan seujung kukuku ini saja kau bisa kulenyapkan”,kata raksasa itu lagi.

“Jangan sombong kau wahai Raksasa”, teriak Jodi sambil mengangkat kayu yang dipegangnya ditujukan ke arah raksasa itu.

Raksasa itu semakin mendekat ke arah Jodi. Tangannya berusaha meraih tubuh Jodi. Dengan gesit Jodi menghindar. Dia melemparkan kayu yang dipegangnya ke arah kaki raksasa. “Brak!” Seketika itu tubuh raksasa itu ambruk. Raksasa terkapar tak berdaya. Tiba – tiba asap keluar dari tubuh raksasa itu dan raksasa itu pun lenyap bersamaan dengan lenyapnya asap. Kayu mengkilat yang dipegang Jodi pun turut lenyap.

Jodi segera membebaskan raja dan keluarganya.

“Terima kasih, Nak. Kau telah menyelamatkan kami dari raksasa yang kejam itu. Sebagai imbalannya terimalah batu – batu permata ini.” Kata raja kepada Jodi.

“Tidak, Paduka Raja tidak perlu berterima kasih. Saya menolong Paduka dengan ikhlas. Memang sudah seharusnya saya melawan kebenaran”,kata Jodi

“Kamu anak yang baik. Tinggallah kau di istanaku. Di sini kamu tidak akan kekurangan apa pun. Hidupmu akan terjamin”, lanjut raja membujuk Jodi.

Ucapan raja itu seolah-olah menyadarkan Jodi bahwa saat ini dia berada jauh dari rumahnya. Kemudian dia menolak tawaran raja dan segera berpamitan kepada raja untuk kembali ke rumahnya. Jodi keluar dari istana. Dia melihat pohon besar yang telah membawanya ke istana itu dan berdiri di bawahnya.

Jodi merasa dia telah kembali ke tempat asal ketika pulang sekolah. Dengan kejadian aneh yang dialaminya, dia segera bangkit dan pulang ke rumahnya.

 

Jumat, 26 April 2019

CERPEN : MAAFKAN AKU IBU

MAAFKAN AKU IBU
Oleh : Umi Harida
Murni adalah seorang anak perempuan yang cantik dengan rambut panjang lurus sebahu. Dia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kecil yang sangat sederhana di tengah – tengah hiruk pikuknya kehidupan kota. Ayahnya sudah enam bulan yang lalu meninggal. Murni dirawat oleh ibunya seorang diri yang pekerjaan sehari – harinya adalah sebagai pedagang sayur keliling. Dengan kepandaianya, Murni mendapat beasiswa dari pemerintah dan dapat bersekolah di sekolah yang bagus di tengah – tengah kota sesuai keinginannya.
“ Hai teman – teman, lihatlah teman kita yang satu ini ! Kasihan sekali ya, perhatikan tasnya ! Sudah jelek, kumal, penuh jahitan pula. Ih, memalukan, “ ucap seorang anak perempuan yang merupakan salah satu teman sekelas Murni, Tasya namanya. “ Iya, kamu benar Tasya. Aku malu punya teman kayak dia, “ sahut temannya yang lain. “ Ha ha ha ha ! “ tawa teman – teman sekelas Murni yang tidak menyukainya karena kemiskinan Murni. Sementara Murni hanya tertunduk menuju ke bangkunya.
Jam belajar di sekolah sudah usai. Murni keluar kelas setelah semua teman – teman sekelasnya. Langkahnya lesu menuju tempat parkir sekolah untuk mengambil sepeda bututnya.
“ Ibu, aku minta belikan tas baru yang bagus. Lihatlah tas ini ! Gara – gara ini aku diejek sama teman – teman. Aku malu, “ ucap Murni dengan ketus kepada ibunya ketika pulang sekolah tanpa mengucapkan salam karena kejengkelannya. “ Ibu belum punya uang yang cukup untuk membelinya, Nak. Kamu tahu sendiri kan tahu, ibumu ini hanyalah penjual sayur keliling. Butuh waktu untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli tas baru,” ucap ibu Murni dengan nada rendah. “ Aku tidak mau tahu. Pokoknya ibu harus segera membelikan tas baru, titik. “ kata Murni dengan nada tinggi seolah – olah menekan ibunya, kemudian berlalu dari hadapan ibunya. Ibu Murni sedih mendengar ucapan kasar yang keluar dari mulut anaknya. Sebagai seorang ibu, dia ingin sekali memenuhi semua keinginan anak demi kebahagiaannya. Tapi apa daya, semenjak ditinggal suaminya sebagai tulang punggung keluarga, dia harus bekerja keras untuk menghidupi anaknya seorang diri.
“ Awas saja ya, kalau besok ibu tidak membelikan tas baru untukku, “ gerutu Murni dalam hati sambil melangkahkan kakinya menuju taman dekat rumahnya. Murni duduk di bangku taman yang tersedia di taman. Saat melihat sekelilingnya secara tidak sengaja ternyata temannya juga ada di situ. Murni bangkit dari tempat duduknya berniat meninggalkan tempat itu. Tapi temannya telah melihat dia akan berlalu dari taman. “ Hai, Murni sudahkah ibumu membelikan tas baru? “ teriak temannya dari kejauhan. “ Mana mungkin, ibunya pasti tidak punya uang. Ibunya kan hanya penjual sayur keliling, “ sahut teman Murni yang lain.
Setelah kembali dari taman Murni marah – marah kepada ibunya karena tidak bisa memenuhi keinginannya. Ibu Murni kembali bersedih. “ Sayang, sabar dulu ya, nanti jika uang tabungan Ibu sudah terkumpul akan kita gunakan untuk membeli tas baru. Ibu akan bekerja lebih keras untuk membahagiakanmu. Kita syukuri saja apa yang sudah ada, “ ucap ibu menjelaskan dengan lembut. Murni tidak berkata apa pun kepada ibunya. Dia hanya berlalu begitu saja dari hadapan ibunya.
Keesokan harinya Murni menghindar dari teman – temannya. Dia terlihat menyendiri. Salah seorang teman baik Murni menghampiri dan menasehatinya. “ Murni, kamu yang sabar ya. Jangan dimasukkan hati semua yang dikatakan teman – teman. Kamu harus mengerti keadaan ibumu. Kasihan beliau setiap hari harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari, “ kata teman baik Murni berusaha menasehati. Murni menjadi tenang karena masih ada teman yang masih perhatian dan peduli kepadanya.
Sementara di rumah Ibu Murni tampak masih bersedih. Beliau berdoa agar dapat memenuhi keinginan anak semata wayangnya. Beliau bertekad akan kerja keras untuk membahagiakan anaknya. Ketika Ibu Murni baru saja sampai di jalan raya, tiba – tiba sebuah mobil menyerempetnya dari belakang. Pengemudi mobil turun dari mobil menghampiri ibu Murni. Tetangga Murni yang secara kebetulan melihatnya segera berlari mendekat untuk menolongnya. Ibu Murni segera dibawa ke rumah sakit dengan mobil orang yang menabraknya. Tetangga Murni yang masih di rumah sakit berusaha menghubungi Bu RT.
Siang hari yang terik, Murni mengayuh sepedanya. Dalam perjalanan pulang, perasaan dia tidak enak. Sesampainya di rumah dia tidak mendapati ibunya. Salah satu tetangganya yang lebih dulu mendapat kabar dari Bu RT menghampirinya dan memberi penjelasan tentang kejadian yang dialami ibunya.. Murni menjadi cemas. Murni segera pergi ke rumah sakit tempat ibunya dirawat dengan diantar tetangganya tersebut.
Sampai di rumah sakit, Murni melihat ibunya terbaring lemah di atas tempat tidur. Dia terlihat sedih. Timbul perasaan menyesal dalam hatinya karena telah bersikap kasar kepada ibunya. Perlahan dia mendekati ibunya dan berucap lirih di dekat telinga ibunya yang terbaring tidur itu, “ Ibu, maafkan semua kesalahanku. Aku yang menyebabkan Ibu seperti ini. Aku berjanji tidak akan menyakiti hati Ibu dan tidak akan memaksakan keinginanku lagi, “ bisik Murni. Ibu Murni seolah – olah mendengar kata – kata Murni. Air matanya yang hangat menetes di pipinya. Ibu Murni perlahan membuka matanya. Beliau menoleh ke arah Murni sambil tersenyum. “ Ibu memafkanmu, Sayang, “ kata Ibu Murni dengan lembut.
Sudah tiga hari Ibu Murni terbaring di rumah sakit. Keadaan Ibu Murni sudah membaik. Dokter memperbolehkan beliau pulang. Semakin hari keadaan ibu Murni semakin membaik. Murni mengutarakan sebuah ide kepada ibunya. “ Bu, bagaimana kalau kita mencoba membuat kue. Aku akan menjual kue – kue itu di sekolah. Aku ingin membantu Ibu untuk mencukupi kebutuhan kita, “ usul Murni. “ Tidak perlu, Nak. Ibu masih kuat kok untuk memenuhi kebutuhan kita. Kamu konsentrasi saja pada pelajaran agar nilaimu selalu bagus,” kata Ibu menolak. “ Tidak apa – apa Bu. Aku kan bisa belajar sambil bekerja. Aku akan membagi waktu antara belajar dan bekerja, bagaimana ?” kata Murni menjelaskan. “ Baiklah kalau begitu. Kamu boleh membantu Ibu. Tapi apa kamu tidak malu sama teman – temanmu ?” tanya ibu. “ Tidak Bu, tidak semua teman – temanku yang jahat. Masih banyak teman – teman di sekolah yang baik kepadaku, “ kata Murni.
Murni dan ibunya mulai membuat kue. Kue – kue itu ditawarkan kepada teman – temannya di sekolah. Bahkan Murni juga berani menawarkan kue – kue tersebut kepada guru – guru. Hasil penjualannya dia serahkan kepada ibunya dan sebagian ditabung. Dia sudah bisa membantu meringankan biaya hidup keluarganya.
Hidup manusia sudah diatur oleh Tuhan. Sebagai manusia kita harus berusaha dan berdoa serta mensyukuri segala nikmat yang diberikan Tuhan agar kita bisa menjalani hidup ini dengan baik.

Kamis, 18 April 2019

PUISI : MELATI


MELATI
Oleh : Umi Harida

Melati
Kau begitu elok mempesona
Tak jemu mata ini memandang
Aroma tubuhmu semerbak harum mewangi
Menawan, menggoda setiap insan

Melati
Pesonamu memikat hati
Engkau begitu putih bersih
Tak kan pudar walau masa berganti

Tubuhmu melambai
Seiring hembusan angin sepoi – sepoi
Namun kau tetap setia di singgasanamu           
Di atas tangkai penopangmu



Senin, 01 April 2019

CERITA FABEL : TURLY SANG PEMBERANI


TURLY SANG PEMBERANI
Oleh : Umi Harida

                “ Hmmm, lapar sekali aku. Sudah lama berjalan tidak ada satu pun binatang yang bisa aku santap sebagai makanan pengganjal perutku, gumam Digo, Si Harimau Belang.” Kers – kers – kers, “ suara ranting dan daun kering yang terinjak terdengar jelas di telinga Digo yang sedang lapar. Perlahan – lahan Digo mendekati semak – semak tempat sumber suara. Dia ingin tahu tentang suara yang didengar. Dengan hati – hati Digo menyibak semak – semak itu tanpa suara. Matanya berbinar melihat pemandangan di depannya. Seekor rusa sedang asyik menikmati dedaunan segar sebagai makan siangnya.

                “ Hup ! “ suara Digo meloncat, berusaha menerkam rusa itu. Tapi sayang sekali terkamannya meleset. Rusa yang kaget sekaligus takut segera lari menyelamatkan diri. “ Aaaaaaahh, “ teriak Digo marah hingga binatang – binatang penghuni hutan mendengarnya dan menjadi ketakutan. “  Suara apa itu, Ibu? “ tanya Si  Turly kepada ibunya. Turly adalah seekor anak kura – kura. Dia terlihat ketakutan mendengar suara teriakan Digo yang menyertamkan. “ Kita harus hati – hati , Sayang. Itu suara Digo yang sedang marah, “ kata induk katak menjelaskan. “ Mengapa dia marah, Ibu?” tanya Turly penasaran. “ Ibu juga tidak tahu. Sudahlah, kamu tidak perlu takut. Ada ibu yang akan selalu menjagamu. “ kata ibu Turly menenangkan.

                “ Huh – huh – huh, selamat aku, suara rusa terengah – engah setelah berlari kencang. Turly mendekati rusa itu. “ Hai, siapa kamu ? Mengapa kamu ada di sini. Ini kan rumahku, “ tegur Turly kepada rusa. “ Namaku Cuky. Maaf aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku sedang menyelamatkan diri dari seekor harimau, dia akan memakanku, “ kata Cuky berusaha menjelaskan kepada Turly.”  Ooooh, pantas Digo marah, gara – gara tidak berhasil menangkapmu ya, “ kata Turly menebak. “ Iya, betul. Darimana kamu tahu ? Apakah kamu pernah bertemu dengannya ? Hati – hati, jangan dekat – dekat dengannya! Nanti bisa – bisa tubuhmu yang mungil ini habis dilahapnya, “ kata Cuky panjang lebar. “ Hah, manamungkin dia mau melahapku. Tubuhku kan kecil. Tubuhku ini tidak akan bisa mengenyangkan perutnya. Kamu yang harus hati – hati, bukan aku, “ kata Turly membantah.
               
                “ Cuky benar, Nak.Kita harus hati – hati kepada Digo.Kallau di sedang kelaparan, siapa pun bisa saja dilahapnya, kata ibu Turly mengingatkan yang tiba – tiba keluar dari balik semak – semak  persembunyiannya. “ Ibu, aku takut, kata Turly sambil mendekati ibunya.
               
                “ Hmmmmm, kemana larinya rusa itu, “ suara Digo terdengar dekat dengan tempat tinggal Turly. “ Ibu, itukah suara Digo ? tanya Turly. “ Sssssst, jangan keras – keras suaramu ! Iya, Nak, “ jawab induk kura – kura itu. Cuky terlihat cemas dan ketakutan. “ Tenanglah Cuky, kamu tidur – tiduran saja di sini. Biar akuyang akan hadapi Digo, “ kata Turly kepada Cuky penuh keberanian. “ Hah, kamu suruh aku tidur – tiduran. Jangan  bercanda kamu! Nyawaku sedang terancam. Ini genting, “ kata Cuky ketakutan. “ Aku tidak bercanda. Ayo kamu tidur di sini ! Aku akan menutupi tubuhmu dengan daun – daun kering itu. Ayo, Ibu, tolong bantu aku  menutupi tubuh Cuky ! “ ajak Cuky kepada ibunya. “ Iya, iya, Sayang, “ kata ibu Turly tanpa bertanya  apa – apa.
                Setelah seluruh badan Cuky tertutup daun – daun kering, Turly berjalan meninggalkan tempat tinggalnya. “ Kamu mau kemana, Turly ? “ Tanya ibunya. “ Aku mau bertemu dengan Digo, Ibu. “ kata Turly. Hah, jangan bercanda kamu ! Bisa – bisa habis kamu dimakannya, “ kata induk kura – kura ketakutan. “ Tenanglah, Ibu. Aku akan mengatasi semua. Kasihan Cuky. Kalau Digo sampai memakannya, dia tidak akan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya lagi seperti kita. “ kata Turly menjelaskan. Ibu Turly terharu mendengar penjelasan anaknya. Induk kura – kura itu mengizinkan Turly untuk menolong Cuky.

 “ Hai, Digo ! “ sapa Turly kepada Digo. “ Hmmmm. Siapa kau ? Berani – beraninya kamu mendekatiku. Apa kamu tidak takut jika kumakan, “ kata Digo dengan suara yang menakutkan. “ Tidak, aku tidak takut kepadamu. Kamu pasti mencari seekor rusa, iya kan, “ kata Turly dengan berani. “ Ya, aku sedang mencarinya. Apakah kamu melihatnya ? “ Tanya Digo. “ Dia lari ke sana tadi. “ kata Turly sambil menunjuk sembarang arah. Mendengar petunjuk dari Turly, Digo langsung lari mengejar buruannya. Dia tidak sadar kalau Turly sedang membohonginya .

Setelah Digo menjauh, Cuky keluar dari persembunyiannya. “ Terima kasih, kamu sudah menolongku. Oh ya, siapa namamu ? “ Tanya Cuky sambil berterima kasih. “ Aku Turly, “ jawab anak kura – kura itu. “ Terima kasih, Turly budi baikmu akan kuingat selama hidupku. Aku tidak akan melupakan jasamu ini. Kemudian Cuky berpamitan kepada Turly dan ibunya untuk kembali ke rumahnya.

Sementara Turly dan ibunya merasa senang karena telah dapat membantu binatang lain. Ibu Turly bangga kepada anaknya, meskipun masih kecil tetapi dia sudah dapat bermanfaat bagi binatang lain.

Minggu, 31 Maret 2019

CERPEN : KASIH SAYANG IBU TIRI


KASIH SAYANG IBU TIRI
Oleh : Umi Harida

                “ Eh, Mil, Aku dengar ayahmu sudah menikah lagi ya. Berarti kamu punya ibu baru dong, ibu tiri.” Kata Tiara, teman sekelas Mila mempertegas ucapannya. “ Iya, benar. Memangnya kenapa kalau aku punya ibu baru ?” jawab Mila. “ Oh, nggak, nggak apa – apa kok. Aku hanya pingin bilang kalau ibu tiri itu biasanya jahat lo, nggak sayang pada kita. Hanya ingin menguasai harta ayah kita saja.” Lanjut Tiara. “ Ah, masak. Kayaknya orangnya baik deh. “ kata Mila membela ibu tirinya. “ Coba saja buktikan sendiri kalau tidak percaya,” lanjut Tiara meyakinkan Mila.

                Mila adalah gadis remaja yang tinggal berdua bersama ayahnya saja. Setahun yang lalu ibu kandungnya meninggal karena suatu penyakit. Mila sebenarnya anak yang baik.Tapi karena terkena pengaruh omongan dari teman – temannya, sikapnya menjadi berubah. Padahal ibu tirinya adalah orang yang baik. Penuh kasih sayang terhadap keluarga.

                “ Tante, apakah makan siangku sudah siap ?” Tanya Mila ketus kepada ibu tirinya setelah baru sampai rumah, pulang dari sekolah. “ Lho, kok panggil Tante sih, Sayang. Sudah, Ibu sudah siapkan makan siangmu. Kebetulan ibu masak masakan kesukaanmu, ayam goreng.” Kata ibunya penuh kelembutan. “ Jangan sok baik deh,” kata Mila sambil berlalu dari hadapan ibu tirinya menuju ruang makan. Sementara ibunya merasa aneh dengan perubahan sikap Mila yang tiba – tiba itu.

                Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 sore. Ayah Mila baru saja pulang dari kantor. “ Yah, hari ini sikap Mila berubah. Ada masalah apa ya dia di sekolah. Tadi pulang dari sekolah dia memanggilku dengan sebutan tante.” kata ibu Mila kepada suaminya yang tidak lain adalah ayah kandung Mila. “ Masa sih, Bu,” kata ayah Mila seperti tidak percaya dengan penjelasan istrinya. “ Benar, Yah. Malahan sikapnya kasar kepada Ibu. Coba Ayah tanya dia. Mungkin dia ada masalah dengan teman – temannya tapi tidak mau cerita kepada Ibu. Barangkali kalau kepada Ayah dia mau cerita masalah yang sebenarnya. “ pinta ibu.

                Setelah mandi dan berganti pakaian, ayah mendatangi kamar Mila dan menanyakan tentang perubahan sikap Mila seperti yang diceritakan oleh ibunya. Mila menceritakan semua yang dikatakan oleh teman – temannya di sekolah tentang ibu tiri kepada ayahnya. Ayah hanya tersenyum mendengar penjelasan anak satu – satunya itu. Kemudian dengan lembut ayah menjelaskan bahwa semua yang dikatakan teman – temannya tentang ibu tiri itu tidak benar. “ Mungkin teman – temanmu itu menyimpulkan dari buku cerita yang mereka baca. Pada kenyataannya banyak anak – anak yang memiliki ibu tiri hidup bahagia. Justru mereka senang karena memiliki ibu yang dapat memperhatikannya.” kata ayah menjelaskan. Mila hanya diam mendengarkan penjelasan ayahnya. Meskipun begitu Mila masih belum percaya sepenuhnya kepada penjelasan yang disampaikan ayahnya itu. Dia masih dalam pengaruh perkataan temannya.

                “ Tok – tok – tok, “ suara pintu kamar terdengar dari luar kamar Mila.” Bangun, Mila, sudah pagi. Sarapanmu sudah Ibu siapkan di meja. “ Aduuuh. Iya, iya, sebentar lagi aku ke ruang makan,” sahut Mila dari dalam kamar. Tidak lama kemudian setelah mandi dan berganti pakaian seragam, Mila pun menyusul ke ruang makan. Ibu mengambilkan piring untuk Mila. “ Seberapa nasimu Mila ?” tanya ibu sambil mengambilkan nasi untuk Mila. Mila mengambil piring dari tangan ibunya. “ Sini, biar aku ambil sendiri, “ kata Mila ketus. Tetapi, ibu tetap sabar menghadapi sikap Mila. “ Sayang, kamu tidak boleh bersikap seperti itu kepada Ibu. Itu tidak baik. Agama kan sudah mengajarkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua dan tidak boleh menyakiti hati mereka. Iya, kan. Ayah rasa kamu sudah mengerti itu. Di sekolah tentunya Bapak dan Ibu guru sering mengingatkan juga. Apa kamu masih belum mengerti penjelasan Ayah kemarin malam? “ kata ayah. Mila hanya terdiam sambil menikmati makanannya.

                Setelah sarapan, Mila berangkat sekolah bersamaan dengan ayahnya yang juga berangkat kerja. Sampai di sekolah dia langsung menuju kelasnya. “ Eh, Mil, bagaimana? Benar kan kataku. Ibu tiri itu jahat,” kata teman Mila dengan yakin. “ Kamu salah. Padahal aku sudah kasar padanya, tapi ibu tiriku tetap baik dan sayang padaku.” Jawab Mila. “ Aduuuh, itu hanya pura – pura saja untuk mencari perhatian kalian. Lihat aja lama – lama pasti ketahuan belangnya. “ kata Mila menambahkan. “ Apa, iya,” kata Mila masih tidak percaya. Pembicaraan mereka terhenti karena bel masuk berbunyi. Pulang sekolah Mila mengajak teman – teman untuk main ke rumahnya. Tentu saja minta izin dulu sama orang tua.

                “ Ting – tong – ting – tong,” bunyi bel rumah Mila. “  Tante, bukakan pintu dong !” suruh Mila kepada ibunya yang diikuti langkah kaki ibu membuka pintu. Ibu Mila menyambut teman – teman penuh ramah dan senyum. “ Selamat sore, tante,” sapa teman – teman Mila. “ Selamat sore anak – anak. Itu, Mila sudah nungguin,” sambut ibu. Teman – teman Mila memperhatikan ibu tirinya ketika beliau menghidangkan camilan di ruang tamu. Sedangkan ibu Mila juga merasa kalau dirinya sedang diperhatikan oleh mereka.

                Malam sudah larut. Ayah dan Mila sudah tidur. Ibu berjalan menuju kamar Mila. Dibukanya kamar itu pelan – pelan. Tampak Mila tertidur dengan pulas. Ibu masuk ke kamar untuk memnbenarkan selimut Mila. Dipandanginya anak perempuannya itu dengan tersenyum penuh keibuan. Kemudian ibu mengecup kening Mila. Ibu sempat kaget karena kening Mila terasa panas. Ibu membuka selimut Mila dan menyentuh leher dan tangan Mila yang terasa panas.

                Ibu segera kembali ke kamarnya sendiri dan membangunkan ayah. “ Yah, bangun, Yah, “ kata ibu membangunkan. “ Ada apa, Bu. Sudah malam kok belum tidur,” tanya ayah. Ibu menjelaskan tentang keadaan Mila kepada ayah. Mereka kemudian menuju kamar Mila bersama. Ayah menyentuh kening Mila, ternyata semua yang dikatakan ibu memang benar. “ Bangun, Mila. Sayang, ayo kita ke rumah sakit, “ kata ayah membangunkan Mila hingga terbangun. Mila terdiam dan terlihat lemas. Dia menuruti kata – kata ayahnya untuk pergi ke rumah sakit.

                Dokter memeriksa Mila dan memberinya resep obat. Sampai di rumah ibu Mila merawatnya dengan penuh kasih saying. Mulai dari menyuapi, member obat, dan juga mengkompres Mila. Setelah tiga hari panas badan Mila juga belum turun. Dia kembali dibawa ke rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, ternyata Mila terkena demam berdarah sehingga harus dirawat di rumah sakit. Setiap saat ibu selalu menunggu Mila dengan sabar.

“ Mengapa Tante baik padaku. Padahal aku sudah jahat sama Tante.” Kata mila lirih. “ Ibu sayang sekali pada Mila. Ibu tidak pernah membenci Mila, meskipun Mila bukan anak kandung Ibu, tetapi Mila seperti anak kandung sendiri, “ ucap ibu dengan lembut. Lima hari pun berlalu dengan cepat sehingga Mila pun sudah dinyatakan sembuh dan dapat diperbolehkan pulang.

Pulang dari rumah sakit Mila berpikir, mencoba untuk menerima ibu tirinya. “ Ibu, maafkan Mila karena sudah jahat sama ibu. Padahal Ibu sudah sangat baik padaku. Aku menyesal telah percaya kepada teman – teman.” Kata Mila meminta maaf dengan penuh penyesalan dan memanggil ibu tirinya dengan sebutan Ibu. “ Sudahlah, Sayang, tidak perlu diingat – ingat lagi. Kita buka lembaran baru ya.” Kata ibu. Mila mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara ayah melihat mereka dengan senang karena Mila sudah menyadari kesalahannya.

Semenjak mendapat perawatan dari ibunya selama sakit, Mila semakin merasakan kasih saying dari ibu tirinya. Ibu tiri yang dia miliki sebagai pengganti ibu kandungnya yang telah tiada ternyata sangat baik, tidak sepertiyang diceritakan oleh teman – temannya. Keluarga Mila kembali utuh dan hidup bahagia.

CERITA NON FIKSI : SEMANGAT UMI


SEMANGAT UMI
Oleh : Umi Harida

                Umi adalah seorang guru yang mengajar di SDN Putat Gede I Surabaya. Perjalanan hidup yang dilaluinya sangat berlika – liku. Suka duka telah dia rasakan semenjak kecil. Mulai dari hidup susah bersama orang tua sampai menuai kesuksesan hingga saat ini. Untuk mencapai kesuksesan,ia membutuhkan waktu yang panjang.
                Sewaktu kecil, Umi tinggal bersama kedua orang tua dan seorang adik laki – lakinya di Dusun Durek, Pangkatrejo, Lamongan, tempat kelahiran ayahnya.  Kehidupan mereka hidup sederhana. Ayahnya adalah seorang guru di salah satu sekolah daerah Lamongan, Jawa Timur. Beliau adalah tulang punggng keluarga.
                Umi dan keluarganya pindah ke Dusun Gilig, Sugihrejo, Lamongan, tempat kelahiran ibunya ketika dia kelas tiga SD, namun sekolahnya tetap di sekolah lama. Jarak dari tempat tinggal yang baru ke sekolahnya tidaklah dekat. Dia harus menyusuri sawah dan beberapa desa untuk sampai ke sekolah, bersama adiknya berboncengan menggunakan sepeda kayuh. Musim kemarau dia merasakan teriknya matahari yang menyengat. Musim hujan dia kehujanan melewati jalanan desa yang becek berlumpur karena belum tersentuh pembangunan. Semua itu dilakukan dengan ikhlas.
                Orang tua Umi memindahkan Umi dan adiknya ke desa tempat tinggal barunya ketika Umi naik kelas lima. Di usianya yang ke sebelas tahun dia mulai berpikir untuk membantu ekonomi keluarga walaupun hanya untuk cari uang saku sendiri. Sepulang sekolah Umi ikut membantu tetangganya membuat es batu dan es lilin untuk dijual. Dia mendapatkan upah yang cukup untuk saku sekolah. Pekerjaan itu dilakukannya setiap hari hingga lulus SD.
                Umi tidak tinggal bersama orang tuanya ketika SMP. Orang tuanya menitipkannya dengan sebuah keluarga kenalan orang tuanya karena jarak rumah dengan sekolah jauh. Umi membantu pekerjaan rumah tangga keluarga tersebut setiap hari karena dia berpikir bahwa keluarga tersebut berjasa merawatnya sebagai pengganti orang tua kandungnya.
                Ibu Umi membuka usaha warung kecil – kecilan di rumah. Umi ingin kembali tinggal bersama orang tua kandungnya dengan tujuan agar bisa membantu pekerjaan mereka di rumah. Setiap hari dia membantu ibunya walaupun hanya sekedar membersihkan rumah dan membuat rempeyek untuk berjualan nasi pecel. Siang hari sepulang sekolah dia menggantikan ibunya menjaga warung, sedangkan ibunya istirahat siang karena capek seharian jaga warung. Umi mempunyai ide untuk membantu ibunya berjualan nasi bungkus dan rempeyek di sekolah, dan ibunya pun mengizinkan. Alhasil semua nasi bungkus dan rempeyek yang dibawa Umi ke sekolah habis, bahkan Umi terima pesanan dari teman – teman di sekolah untuk sarapan setelah olahraga karena tidak sempat membawa bekal di sekolah. Tidak hanya teman – teman sekolah, tapi guru – guru pun ikut memesan rempeyek. Hasilnya lumayan untuk membantu membayar biaya sekolah.
                Setelah lulus SMA, Umi melanjutkan kuliah di UNESA Surabaya dengan jurusan PGSD, karena keinginan orang tuanya agar dia bias menjadi guru seperti beliau. Ayahnya selalu berusaha mencarikan biaya kuliah. Setelah dua semester, Umi merasa kasihan melihat perjuangan orang tuanya dalam membiayai kuliah dan hidupnya di kos – kosan. Akhirnya dengan izin orang tuanya Umi mencari pekerjaan untuk membiayai kuliah dan hidup di Surabaya. Dia pergi ke rumah majikan salah satu tetangganya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di Surabaya. Oleh tetangganya Umi dikenalkan dengan saudara majikannya, Ibu Megawati yang tinggal di Simpang Darmo Permai Selatan, Surabaya.
                Ibu Megawati sangat baik. Umi ditanya tentang kemampuan yang dimiliki dan pekerjaan yang diinginkan. Umi hanya menjawab bahwa dia tidak punya pengalaman apapun karena dia hanyalah lulusan SMA, dan menerima pekerjaan apapun yang akan diberikan kepadanya, bahkan sebagai asisten rumah tangga pun dia bersedia asalkan diberi waktu untuk kuliah. Umi juga mengatakan bahwa dia tidak mengharapkan gaji besar, bagi dia yang penting bisa untuk membayar kuliah. Ibu Mega menyuruh Umi datang ke kantornya esok hari.
                Keesokan harinya Umi datang ke kantor Ibu Megawati, CV Kencana Abadi, sebuah kantor suplayer oli di daerah Kapasan, Surabaya. Di sana Umi disuruh membersihkan dan menata ruangan seorang menejer perusahaan. Umi tidak menolak karena seperti yang dia katakana sebelumnya bahwa dia menerima apa pun pekerjaan yang diberikan. Pekerjaan yang dikerjakan Umi juga tidak berlangsung lama. Setelah dua hari Umi diperkenalkan kepada seluruh karyawan kantor. Beliau meminta karyawan kantor untuk mengajari Umi tentang pekerjaan di kantor.
                Seperti kesepakatan sebelumnya, umi hanya bekerja separuh hari karena dia harus kuliah. Sampai akhirnya Umi lulus kuliah dari UNESA dan memperoleh pekerjaan sebagai guru honorer di SDN Tembok Dukuh III, Asem Jaya, Surabaya. Ibu Megawati menawarkan kepada Umi agar tetap bekerja di kantornya seperti biasa separuh hari. Penawaran tersebut diterima dengan senang hati. Ibu Megawati benar – benar orang yang baik.
                Umi berencana melanjutkan kuliah lagi di Universitas PGRI Adibuana Surabaya mengambil jurusan matematika sesuai keinginannya sebelum kuliah di UNESA atas permintaan orang tuanya. Karena kesibukannya kuliah, dia terpaksa mengundurkan diri dari perusahaan. Setelah lulus kuliah, Umi tetap bekerja di SDN Tembok Dukuh III. Hingga akhirnya ada tes CPNS dan dia pun lulus ujian CPNS. Setelah kelulusannya, Umi dimutasi oleh Pemerintah Kota Surabaya ke SDN Putat Gede I Surabaya karena sesuai wilayah alamat tempat tinggalnya hingga sekarang sebagai pegawai negeri sipil.
                Umi sangat bersyukur kepada Tuhan karena usaha dan kerja kerasnya diberkahi oleh-Nya sehingga dia dapat melalui masa – masa sulit kehidupannya yang dimulai dari kecil. Sesuai dengan janji Tuhan  di dalam kitab suci bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu umat jika dia tidak mau berusaha merubahnya sendiri.

PUISI PETANI

  PETANI Oleh : Umi Harida Petani…….. Tatkala sang surya mengintip di balik awan di ufuk timur Engkau bangkit dari tidurmu yang...