MAAFKAN AKU IBU
Oleh : Umi Harida
Murni adalah seorang anak perempuan yang cantik dengan
rambut panjang lurus sebahu. Dia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kecil yang
sangat sederhana di tengah – tengah hiruk pikuknya kehidupan kota. Ayahnya
sudah enam bulan yang lalu meninggal. Murni dirawat oleh ibunya seorang diri
yang pekerjaan sehari – harinya adalah sebagai pedagang sayur keliling. Dengan
kepandaianya, Murni mendapat beasiswa dari pemerintah dan dapat bersekolah di
sekolah yang bagus di tengah – tengah kota sesuai keinginannya.
“ Hai teman – teman, lihatlah teman kita yang satu ini !
Kasihan sekali ya, perhatikan tasnya ! Sudah jelek, kumal, penuh jahitan pula.
Ih, memalukan, “ ucap seorang anak perempuan yang merupakan salah satu teman
sekelas Murni, Tasya namanya. “ Iya, kamu benar Tasya. Aku malu punya teman
kayak dia, “ sahut temannya yang lain. “ Ha ha ha ha ! “ tawa teman – teman
sekelas Murni yang tidak menyukainya karena kemiskinan Murni. Sementara Murni
hanya tertunduk menuju ke bangkunya.
Jam belajar di sekolah sudah usai. Murni keluar kelas
setelah semua teman – teman sekelasnya. Langkahnya lesu menuju tempat parkir
sekolah untuk mengambil sepeda bututnya.
“ Ibu, aku minta belikan tas baru yang bagus. Lihatlah tas
ini ! Gara – gara ini aku diejek sama teman – teman. Aku malu, “ ucap Murni
dengan ketus kepada ibunya ketika pulang sekolah tanpa mengucapkan salam karena
kejengkelannya. “ Ibu belum punya uang yang cukup untuk membelinya, Nak. Kamu
tahu sendiri kan tahu, ibumu ini hanyalah penjual sayur keliling. Butuh waktu
untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli tas baru,” ucap ibu Murni dengan nada
rendah. “ Aku tidak mau tahu. Pokoknya ibu harus segera membelikan tas baru,
titik. “ kata Murni dengan nada tinggi seolah – olah menekan ibunya, kemudian
berlalu dari hadapan ibunya. Ibu Murni sedih mendengar ucapan kasar yang keluar
dari mulut anaknya. Sebagai seorang ibu, dia ingin sekali memenuhi semua
keinginan anak demi kebahagiaannya. Tapi apa daya, semenjak ditinggal suaminya
sebagai tulang punggung keluarga, dia harus bekerja keras untuk menghidupi
anaknya seorang diri.
“ Awas saja ya, kalau besok ibu tidak membelikan tas baru
untukku, “ gerutu Murni dalam hati sambil melangkahkan kakinya menuju taman
dekat rumahnya. Murni duduk di bangku taman yang tersedia di taman. Saat
melihat sekelilingnya secara tidak sengaja ternyata temannya juga ada di situ.
Murni bangkit dari tempat duduknya berniat meninggalkan tempat itu. Tapi
temannya telah melihat dia akan berlalu dari taman. “ Hai, Murni sudahkah ibumu
membelikan tas baru? “ teriak temannya dari kejauhan. “ Mana mungkin, ibunya
pasti tidak punya uang. Ibunya kan hanya penjual sayur keliling, “ sahut teman
Murni yang lain.
Setelah kembali dari taman Murni marah – marah kepada
ibunya karena tidak bisa memenuhi keinginannya. Ibu Murni kembali bersedih. “
Sayang, sabar dulu ya, nanti jika uang tabungan Ibu sudah terkumpul akan kita
gunakan untuk membeli tas baru. Ibu akan bekerja lebih keras untuk
membahagiakanmu. Kita syukuri saja apa yang sudah ada, “ ucap ibu menjelaskan
dengan lembut. Murni tidak berkata apa pun kepada ibunya. Dia hanya berlalu
begitu saja dari hadapan ibunya.
Keesokan harinya Murni menghindar dari teman – temannya.
Dia terlihat menyendiri. Salah seorang teman baik Murni menghampiri dan
menasehatinya. “ Murni, kamu yang sabar ya. Jangan dimasukkan hati semua yang
dikatakan teman – teman. Kamu harus mengerti keadaan ibumu. Kasihan beliau
setiap hari harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari, “
kata teman baik Murni berusaha menasehati. Murni menjadi tenang karena masih
ada teman yang masih perhatian dan peduli kepadanya.
Sementara di rumah Ibu Murni tampak masih bersedih. Beliau
berdoa agar dapat memenuhi keinginan anak semata wayangnya. Beliau bertekad
akan kerja keras untuk membahagiakan anaknya. Ketika Ibu Murni baru saja sampai
di jalan raya, tiba – tiba sebuah mobil menyerempetnya dari belakang. Pengemudi
mobil turun dari mobil menghampiri ibu Murni. Tetangga Murni yang secara
kebetulan melihatnya segera berlari mendekat untuk menolongnya. Ibu Murni
segera dibawa ke rumah sakit dengan mobil orang yang menabraknya. Tetangga
Murni yang masih di rumah sakit berusaha menghubungi Bu RT.
Siang hari yang terik, Murni mengayuh sepedanya. Dalam
perjalanan pulang, perasaan dia tidak enak. Sesampainya di rumah dia tidak
mendapati ibunya. Salah satu tetangganya yang lebih dulu mendapat kabar dari Bu
RT menghampirinya dan memberi penjelasan tentang kejadian yang dialami ibunya..
Murni menjadi cemas. Murni segera pergi ke rumah sakit tempat ibunya dirawat dengan
diantar tetangganya tersebut.
Sampai di rumah sakit, Murni melihat ibunya terbaring lemah
di atas tempat tidur. Dia terlihat sedih. Timbul perasaan menyesal dalam
hatinya karena telah bersikap kasar kepada ibunya. Perlahan dia mendekati
ibunya dan berucap lirih di dekat telinga ibunya yang terbaring tidur itu, “
Ibu, maafkan semua kesalahanku. Aku yang menyebabkan Ibu seperti ini. Aku
berjanji tidak akan menyakiti hati Ibu dan tidak akan memaksakan keinginanku
lagi, “ bisik Murni. Ibu Murni seolah – olah mendengar kata – kata Murni. Air
matanya yang hangat menetes di pipinya. Ibu Murni perlahan membuka matanya.
Beliau menoleh ke arah Murni sambil tersenyum. “ Ibu memafkanmu, Sayang, “ kata
Ibu Murni dengan lembut.
Sudah tiga hari Ibu Murni terbaring di rumah sakit. Keadaan
Ibu Murni sudah membaik. Dokter memperbolehkan beliau pulang. Semakin hari
keadaan ibu Murni semakin membaik. Murni mengutarakan sebuah ide kepada ibunya.
“ Bu, bagaimana kalau kita mencoba membuat kue. Aku akan menjual kue – kue itu
di sekolah. Aku ingin membantu Ibu untuk mencukupi kebutuhan kita, “ usul
Murni. “ Tidak perlu, Nak. Ibu masih kuat kok untuk memenuhi kebutuhan kita.
Kamu konsentrasi saja pada pelajaran agar nilaimu selalu bagus,” kata Ibu
menolak. “ Tidak apa – apa Bu. Aku kan bisa belajar sambil bekerja. Aku akan
membagi waktu antara belajar dan bekerja, bagaimana ?” kata Murni menjelaskan. “
Baiklah kalau begitu. Kamu boleh membantu Ibu. Tapi apa kamu tidak malu sama
teman – temanmu ?” tanya ibu. “ Tidak Bu, tidak semua teman – temanku yang
jahat. Masih banyak teman – teman di sekolah yang baik kepadaku, “ kata Murni.
Murni dan ibunya mulai membuat kue. Kue – kue itu
ditawarkan kepada teman – temannya di sekolah. Bahkan Murni juga berani
menawarkan kue – kue tersebut kepada guru – guru. Hasil penjualannya dia
serahkan kepada ibunya dan sebagian ditabung. Dia sudah bisa membantu
meringankan biaya hidup keluarganya.
Hidup
manusia sudah diatur oleh Tuhan. Sebagai manusia kita harus berusaha dan berdoa
serta mensyukuri segala nikmat yang diberikan Tuhan agar
kita bisa menjalani hidup ini dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar