Oleh : Umi Harida
Andaikan waktu dapat diputar dan saya ingin kembali ke masa kecil. Tidak akan ada masalah rumit yang akan memaksa otak untuk berpikir keras dalam memecahkan masalah. Hanya belajar, bermain, bercanda, dan meminta uang jajan kepada ayah dan ibu. Sore hari bermain di halaman rumah bersama teman – teman di bawah sinar rembulan. Saat ini aku masih di halaman yang sama menatap rembulan ditemani bintang – bintang dalam suasana malam yang sepi dan sunyi. Kali ini tanpa ada teman yang menemani. Tak terasa air mata ini menetes di pipi.
“Jangan melamun, Nduk.”
Ibu membuyarkan lamunanku. Kami duduk bersama. Beliau menginginkan rambutku dengan penuh kasih. Kata – katanya yang lembut sedikit menenangkan hatiku yang saat ini sedang galau. Ibu memintaku untuk menceritakan masalah yang sedang mengganggu. Kupandang wajah beliau yang sudah menua. Kulitnya yang sudah keriput. Mata yang teduh. Senyumnya yang hangat membuat nyaman. Kuletakkan perlahan kepalaku di atas pangkuan ibu. Saya tidak sanggup menceritakan masalah yang saat ini sedang mengganggu.
“Tidak ada masalah apa – apa, Ibu. Aku cuma ingat masa kecil saja, kok. Ketika aku kecil, ibu selalu memanjakanku.”
“Tapi kenapa ada yang menetes dari matamu, Nak? "Coba ceritakan!" Ibu terus saja mendesakku untuk bercerita.
Aku masih bertahan untuk tidak bercerita. Aku bilang kepada ibu bahwa aku hanya terharu saja mengingat masa – masa kecil yang bahagia. Ibu sudah tua, tidak seharusnya seorang anak memberi masalah yang dapat menambah beban pikiran. Akhirnya ibu pun menyerah untuk tidak bertanya lagi dengan alasan – alasan yang kubuat.
Sudah dua tahun lamanya saya berpacaran dengan Mas Johan. Saat ini kami akan melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Masalah – masalah mulai bermunculan. Mulai dari hal – hal yang sepele hingga masalah yang berat seperti sekarang ini. Jika itu hal sepele mungkin masih bisa aku tepis. Namun masalah diantara kami adalah masalah perasaan yang membutuhkan waktu tidak sebentar untuk menatanya. Akhir – akhir ini sudah sering aku memaafkan Mas Johan yang sepertinya enggan bertemu denganku. Sikapnya yang dingin dan cuek sangat bisa aku rasakan ketika kami bertemu.
Tadi siang, aku tidak sengaja menjumpai Mas Johan bersama wanita lain di suatu mall di dekat kantor. Mataku menangkap mereka sedang bergandengan tangan. Kemudian duduk bersebelahan dengan jarak yang sangat dekat, terlihat begitu mesra. Mereka bercanda dan sesekali tertawa membuat hati ini teriris tak tahan melihatnya. Mas Johan selalu mengatakan bahwa mereka hanya berteman biasa. Katanya mereka saat ini sedang dekat karena sebagai patner satu tim saja dalam bekerja. Bisakah aku mempercayainya kali ini meskipun ini bukanlah pertamakalinya aku melihat mereka berduaan?
“Nadia adalah anak baru yang kebetulan satu tim denganku. Sebagai seniornya saya sudah sewajarnya memberikan bimbingan kepadanya tentang pekerjaan yang dibebankan perusahaan kepada tim kami. Saya harap kamu mengerti tentang keadaan ini”, kata Mas Johan saat menemuiku di ruanganku saat masih waktu kerja tadi siang. Aku memang sengaja bertanya tentang Nadia saat dia mengunjungiku.
Aku tidak bercerita kepada Mas Johan bahwa aku tadi memeluknya dan Nadia sedang bersama saat istirahat. Sebagai orang baru yang bekerja di perusahaan kami, saya menyadari jika Nadia masih dalam masa penyesuaian pekerjaan. Tapi bagaimana caranya agar Mas Johan bisa membimbingnya? Jika masih dalam batasan kewajaran sebagai seorang senior dan junior sebagai mitra kerja mungkin saya bisa menerima. Tetapi ini sudah sering aku menemukan keduanya. Dan seingatku, aku pun memaafkannya ketika dia memberinya alasan.
Sebenarnya aku sudah mempunyai nomor handphone Nadia yang kudapat dari salah seorang temanku yang kebetulan satu tim juga dengan Mas Johan. Aku minta temanku untuk merahasiakan ini dari Mas Johan. Aku juga meminta bantuan kepada temanku untuk kedekatan Mas Johan dan Nadia. Mangkanya aku tadi mengetahui Mas johan sedang bersama Nadia karena info dari teman.
Saat pulang dari kantor, saya tidak sengaja bertemu dengan Nadia di depan gerbang perusahaan saat sedang menunggu Gojek yang telah saya pesan sebelumnya. Saya sengaja mendekatinya. sepertinya dia tidak mengenaliku.
“Sedang menunggu jemputan, Mbak?” Aku menyapa Nadia sambil melontarkan senyum padanya.
“Iya, saya sedang menunggu gojek. Kalau Mbak sendiri?” Dia bertanya balik padaku yang kemudian kujawab bahwa aku sedang menunggu gojek juga. Beberapa menit kemudian gojekku datang. Aku pun pamit duluan kepada Nadia.
Di tengah perjalanan terdengar bunyi whatsapp dari ponselku. Aku mencoba mengeluarkan ponselku dari dalam tas. Ternyata temanku memberitahuku bahwa dia melihat Mas Johan berboncengan dengan Nadia. Saya meminta bantuan teman untuk mengambil gambar fotonya. Tidak lama kemudian gambar foto kuterima. Aku kecewa melihatnya. Padahal Nadia bilang tadi bahwa dia sedang menunggu gojek. Tapi kenapa orang yang memboncengnya adalah kekasihku sendiri.
“Mas Johan ada dimana sekarang?”
Aku langsung menghubungi kekasihku. Dia menjawab bahwa dia masih ada di kantor karena pekerjaan lembur. Saat itu hatiku juga merasa sakit. Kasih sayang yang sudah dua tahun bersamaku telah berbohong. Aku bertanya pada diriku sendiri. Apa salahku sehingga kekasihku sendiri membohongiku? Celanaah aku diperlakukan seperti ini? Apakah aku harus memaafkan Mas Johan kali ini?
“Sudah sampai, Mbak?”
Pak gojek membangunkan lamunanku. Setelah saya membayarnya. Saya membuka pintu pagar rumah. Langkahku lemas dengan pikiran yang tak karuan.
Kutenteng tas kerjaku lalu kuletakkan di meja yang terletak di teras depan rumah. Aku duduk sebentar untuk menenangkan pikiran sejenak. Beban pikiran membuat tubuhku semakin capek. Kuambil handphone dari tas.
“Mas, aku capek. Aku lelah. Saya tidak dapat lagi melanjutkan hubungan kita. Maafkan aku jika harus mengakhiri hubungan kita sampai di sini. Semoga kamu mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku. Terima kasih atas semua perhatian dan waktu yang sudah Mas berikan padaku.”
Saya mengakhiri hubungan dengan Mas Johan secara sepihak. Saya sudah tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Cukuplah aku sudah sakit hati. Cukup sudah aku berbohong. Cukup sudah aku menduga. Sudah cukup aku kecewa.
“Mila, ada Johan.”
Ibu memanggilku karena Mas Johan datang ke rumah. Aku kaget karena ternyata baru menyadari kalau mulai dari sore tadi aku melamun sendiri di halaman belakang. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan menemui Mas Johan. Aku bilang begitu sehingga tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Semuanya sudah jelas.
"Kamu sudah membohongiku. Mas.”
Hanya itu kata terakhir yang keluar dari bibirku sambil kutunjukkan foto foto yang dikirim temanku tadi sore sebagai bukti kebersamaan antara Mas Johan dan Nadia. Saya meminta Mas Johan segera meninggalkan rumah. Kali ini aku tidak mau mendengar alasannya lagi. Aku harus menata kehidupan baruku dengan hubungan baru. Aku harus bisa menghapus bayangan masa lalu serta mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Aku juga ingin hidup bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar