Senin, 24 Juni 2024

CERPEN DEWASA : APA ARTI SENYUMANNYA?

              APA ARTI SENYUMANNYA?

                     OIeh : UMI HARIDA

      Pagi ini entah kenapa badanku capek sekali. Kusibakkan selimut dari tubuhku. Aku segera bangun dari pembaringanku. Aku tidak segera mandi. Aku duduk di tepi kasur dengan perasaan malas. Pikiranku masih terbawa bayang - bayang pesta ulang tahun teman kemarin malam.

        Di pesta itu aku melihat teman masa SMA dulu. Aku ingat betul nama yang selama ini selalu mengganggu waktu sengganggu saat aku tidak ada pekerjaan yang kulakukan. Tapi kenapa dia tidak menyapa atau mendekatiku? Padahal jelas – jelas mata kami saling bertemu. Mengapa dia hanya tersenyum padaku, lalu berlalu meninggalkan pesta itu setelah aku melihatnya. Ya, senyum itu masih sama seperti senyum yang dulu dia berikan padaku.

     “Joy,” gumamku lirih memanggil nama teman SMA ku itu. 

      Dia adalah pemuda yang menjadi idaman banyak perempuan saat itu, termasuk diriku pun menyukainya. Siapa yang tidak suka, mana mungkin. Pemuda yang ganteng, tegas, pintar, dan berkarisma. Tidak heran kalau dia menjadi pemimpin di kelas. Setiap aku bertemu dengannya aku selalu mencoba untuk mencuri pandang. Pernah aku membuat surat yang mewakili rasa sukaku kepadanya, tapi aku tidak berani mengirimkannya. Saya pernah berpikir untuk menitipkan surat itu melalui teman sebangkunya, tapi saya mengurungkan niat itu. Aku tidak mau dianggap perempuan yang tidak tahu malu. Akhirnya sampai sekarang surat itu masih tersimpan di laci kamar. Setiap rasa rindu menghampiri, aku mengambil dan membacanya. Lalu kulipat lagi dengan rapi dan kumasukkan kembali ke dalam laci.

      Ketika pengumuman kelulusan di SMA, aku mencoba untuk mendekatinya. Saat itu saya ingin mencoba mengutarakan rasa suka kepadanya karena setelah pengumuman izin kami tidak akan bertemu lagi. Tiba - tiba ada dorongan dari dalam diriku untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Dia hanya tersenyum dan memegang pundakku tanpa mengucapkan katapun, kemudian berlalu dari hadapanku. Apa artinya senyumnya itu sampai sekarang aku tidak tahu jawabannya. Apakah dia menerimaku? Ataukah dia malah menolakku? Sampai sekarang aku tidak tahu jawabannya dan menjadi rahasia yang membuat diriku tidak berani membuka hati untuk pria lain karena aku selalu berharap akan bertemu dia lagi untuk menemukan jawaban dari sikapnya itu. Tapi aneh sekali kenapa Joy bisa hadir di jamuan ulang tahun temanku?

    "Tiiiiit, tiiiiit, tiiiiit," bunyi HP ku sepertinya ada panggilan untukku

     "Hai, Tuan Putri baru saja bangun tidur ya?"

     "Iya, ada apa, Jes?"

      "Eh, tunggu dulu. sepertinya kamu sakit ya? Suaramu terdengar serak pagi ini."tanya Jesika, sahabatku sekaligus teman kerja yang kemarin malam ulang tahun.

       "Nggak, cuma agak capek sedikit sepulang dari pesta ulang tahunmu semalam. Ada apa Jes, pagi - pagi kok sudah telepon?"

       "Nggak ada apa - apa. Ngomong - ngomong apakah kamu ada waktu untuk kita bertemu?"

       "Aduh, maaf sekali Jes. Aku tidak bisa. Sepertinya aku harus istirahat. Aku benar - benar capek."

        "Apa benar, gak mau ketemu? Padahal aku punya kejutan. Nanti kamu menyesal lho."

        "Nggak deh, aku mau istirahat saja di rumah."

           "Ya, sudahlah, kalau begitu aku tidak bisa memaksamu. Aku tutup dulu ya teleponnya. Selamat beristirahat, Tuan Putri.....

       Jesi telah menutup teleponnya. Entah kenapa ada perasaan yang mengganjal di hatiku. sepertinya ada yang aneh dengan ucapannya di telepon tadi. Mengapa dia mengatakan aku akan menyesal jika tidak bisa ketemuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Jesi sampaikan? 

        Sudah pukul 10.00 siang. Aku masih saja bermalas - malasan di tempat tidur. Rasanya berat sekali untuk dipindahkan dari kamar. Perutku sudah mulai berbunyi. Dari tadi belum ada sesuap nasi atau sepotong kue yang mengisi perut. Hanya segelas air di meja yang bisa kuraih sekadar untuk membasahi kerongkongan. 

        Sepiring nasi, sepotong kue, segelas susu, dan buah memenuhi bagian meja di depan kursi yang biasa kutempati untuk duduk ketika makan bersama ayah dan ibu. Perutku kembali berbunyi seolah - akan memberi tahu untuk tidak berlama - lama memasukkan hidangan yang ada di depanku.

        "Baiklah, aku makan sekarang." Aku memberi jawaban atas perintah perutku yang sedari tadi masih kosong. Sesuap demi sesuap nasi itu masuk mulutku. Namun pikiranku masih sama, tidak bisa lepas dari kata Jesi. Aku masih penasaran dengan kata-katanya. 

       Setelah makan aku melangkahkan kaki kembali ke kamar. Pikiranku masih sama terikat pada kata Jesi.

       "Halo, Jes kamu dimana? Bisa nggak kita ketemuan?" Aku menelepon Jesi untuk mengobati rasa penasaranku.

        "Aku di rumah. Ada apa kamu, Feby Cuantiiik? Katanya kamu capek dan butuh istirahat. Kok sekarang tiba - tiba ingin ketemu."

         "Nggak ada apa - apa. Pikiranku berubah."

          "Oke, dimana? Kapan?"

          "Di rumahmu saja. Sekarang aku kesana."

          "Oke, aku tunggu."

         Kuambil kunci sepeda motor yang diletakkan di meja riasku. Segera aku berangkat menuju rumah Jesika. Teriknya sinar mentari terasa menusuk kulit. Bisingnya suara - suara kendaraan memenuhi telinga. Asap dan debu bercampur bersatu terikat oleh angin yang setiap saat menyapu tubuhku. Aku tidak memperdulikannya. Yang penting saat ini adalah semua rasa penasaranku dapat terbayar.

      "Hai Feb, cepat amat kamu sampai di sini. Ayo masuk!"

     “Ayah, ibumu ada di rumah Jes?”

     "Kamu mau bertemu aku atau orang tuaku?"

     “Ya kamulah, bagaimana sih.”

     "Jes, tadi kamu bilang aku akan menyesal kalau kita tidak ketemu. Maksudnya apa?" tanyaku tidak sabar pada Jesi.

     Jesi tersenyum, kemudian tertawa membuatku semakin penasaran. Terdengar dari arah dapur sepertinya ada seseorang disana. Aku bertanya kepada Jesi siapa yang ada di dapur. Ternyata seorang sepupu Jesi yang menginap di rumahnya. 

      Aku masih menunggu jawaban Jesi. Dia masih tersenyum – senyum. Saya masih fokus pada pembicaraan kami. Hingga tidak kusadari seseorang sedang menyajikan jamuan di meja.

    “Silahkan dimakan, Mbak kuenya.”

      Terdengar suara seseorang yang sepertinya tidak terdengar asing di telingaku saat mempersilahkan aku untuk menikmati hidangan kue. Saat itu aku kaget melihat raut wajah pria di depanku. Ternyata dia........

       "Hai, lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Kamu makin cantik saja." Pria itu berkata sambil tersenyum kepadaku.

      "Kamu....."

      "Ya, ini aku Joy. Masih ingatkah kamu kepada orang yang ada di depanmu ini? Atau jangan - jangan kamu sudah melupakanku."

       "Bagaimana aku bisa melupakan akan dirimu sendiri. Senyumu..... Senyumu masih seperti yang dulu, yang tidak bisa kumengerti apa arti senyummu waktu terakhir kita bertemu saat pengumuman izin sekolah dulu." Aku masih tidak percaya pria yang telah mengikat hatiku selama ini ada di depanku.

    "Ehem, sepertinya ada yang reuni. Aku ke dalam dulu ya," Jesi tiba - tiba menyela pembicaraan kami.

      "Feb, aku juga menyukaimu. Itulah jawaban dari pertanyaan yang selama ini kamu pendam. Maafkan aku jika membuatmu menunggu terlalu lama. Aku tidak berani mengungkapkan perasaanku kepadamu karena waktu itu kita masih belum dewasa dan belum bekerja. Karena berpikir aku adalah seorang laki - laki yang harus bertanggung jawab pada keluargaku kelak. Dan sekarang aku sudah memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjalin hubungan yang serius."kata Joy menjelaskan panjang lebar.

      Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Jangan - jangan aku bermimpi. Kukubit lenganku sendiri dengan jari - jari mungil. Oh, ternyata ini bukalah mimpi di siang hari. Ini nyata.

      Sepanjang waktu kami ngobrol dan bercanda. Mengingat masa - masa sekolah dulu. Bercerita tentang pekerjaan. Merencanakan masa depan hubungan kami selanjutnya. Saya harap rencana - rencana kami bukanlah sekadar mimpi yang berkelanjutan. Aku harap semua jadi kenyataan indah yang menghiasi setiap momen sepanjang hidupku.

         

 

       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi : KALA FAJAR MENJELANG

                      KALA FAJAR MENJELANG                                 Oleh : Umi Harida Kala fajar menjelang Sang Bagaskara menampakkan...