Oleh : Umi Harida
Hari ini adalah hari Minggu. Anak – anak sekolah pastinya menikmati hari libur mereka. Begitu pula dengan Anggi yang juga merasakan hari liburnya. Anggi merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Dia adalah seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun. Wajahnya cantik, imut, dan menggemaskan. Kulitnya yang putih bersih dengan rambut sebahu menambah betapa menawannya dia. Hari ini dia akan pergi ke taman bersama teman – temannya sesuai dengan rencana yang sudah mereka bicarakan kemarin.
Cuaca pagi ini terlihat cerah. Matahari memancarkan sinarnya yang hangat. Burung – burung berkicau dengan merdu menyambut pagi. Mereka bersiul – sumbang, bernyanyi dengan ceria seolah – olah menggambarkan hati mereka yang gembira. Mereka duduk di sebuah pohon rindang di depan rumah Anggi. Sementara Anggi dan keluarganya sedang menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh ibu tercinta. Mereka duduk saling berhadapan menikmati hidangan pagi itu. Di atas meja makan sudah tersaji beberapa lauk, buah, sebakul nasi, wadah besar sayur, dan minuman.
“Waaaah, ayam goreng!” kata Anggi dengan senangnya.
Ayam goreng adalah lauk kesukaannya. Kedua orangtuanya tertawa kecil melihat tingkah gadis kecil itu saat melihat ayam goreng. Seperti biasa orang tua harus mengambil makanan terlebih dahulu sebagai tata krama yang sudah mereka terapkan dalam keluarga. Ayah Anggi mengambil nasi, potongan ayam goreng, sayuran, dan sambal. Dia duduk berhadapan dengan Anggi. Ibu mengambil nasi, telur dadar, sayur, dan sambal. Kakak ambil nasi, potongan ayam, sayur, dan sambal. Sedangkan Anggi mengambil nasi, potongan ayam, dan sayuran tanpa sambal karena dia tidak menyukainya. Setelah makan semua anggota keluarga mencuci piring dan gelas mereka masing – masing. Hal itu mereka lakukan karena sudah menjadi tanggung jawab mereka terhadap kepatuhan mereka dalam aturan keluarga.
“Ya, aku ikut ke rumah Devi ya. “Kita akan pergi ke taman.” Kata Anggi meminta izin kepada ibunya yang kemudian dijawab oleh ibunya bahwa dia mengizinkannya dan berpesan agar menantunya selalu berhati-hati. Setelah mengucapkan terima kasih dan mencium tangan ibunya, Anggi mengambil sepeda anginnya yang berada di garasi. Dia segera menaikinya menuju rumah sahabatnya, Devi. Setelah sampai di rumah Devi ternyata sahabatnya sudah siap. dia duduk di teras rumah menunggu kedatangan Anggi. Setelah berpamitan kepada orang tua Devi, mereka berboncengan menuju taman. Sementara di taman sudah ada beberapa teman yang sudah menunggu mereka.
“Hai, teman – teman! Maaf, kami agak telat.”Ucap Anggi meminta maaf kepada teman – temannya atas keterlambatan mereka.
Taman itu terasa asri. Banyak pohon – pohon yang tidak terlalu besar, bunga – bunga yang indah dengan kupu – kupu yang mengitari. Angin pagi yang begitu dingin. Pokoknya nyaman deh. Mereka saling bercerita, bercanda, dan tertawa bersama.
“Kita, main yuk!” ajak
salah seorang dari mereka yang disetujui oleh teman – temannya. Mereka
menentukan permainan. Akhirnya mereka sepakat untuk bermain petak umpet. Salah satu
dari mereka terpilih untuk memejamkan mata dan bertugas untuk mencari teman –
teman lain yang bersembunyi. Dalam hitungan satu sampai sepuluh mereka harus bersembunyi. Anggi bersembunyi diantara pohon – pohon kecil. Ketika
dia bersembunyi, dia melihat ada sebuah cermin kecil di dekatnya. Tangan Anggi
meraih cermin itu. Tiba – tiba saja cahaya keluar dari cermin dan menariknya
masuk ke dalam cermin.
“Tolooooooong!” teriak
Anggi.
Tidak seorang pun yang
mendengar teriakannya. Dia memperhatikan di sekelilingnya. Dia merasakan aneh di sekitar tempatnya berada. Tempat itu bukanlah taman tempat bermain dia bersama teman - temannya. Tempat
itu luas, lebih luas dari taman tempat dia dan teman – temannya berkumpul tadi.
Dipenuhi dengan pohon – pohon kecil dan bunga – bunga indah layaknya seperti
taman. Anggi berjalan tetapi tidak tahu kemana arah tujuannya. Setelah lama dia
melangkah, dia merasakan lelah dan lapar. Seketika itu tercium bau sedapnya
makanan. Anggi melangkahkan kaki
mengikuti aroma masakan yang terbawa hembusan angin. Aroma masakan itu menuju
ke arah bangunan besar dan megah.
“Wow, indah sekali,”
gumam Anggi melihat bangunan yang megah dan indah yang ada di hadapannya itu.
Bangunan yang megah dan
indah itu adalah sebuah istana. Anggi sudah berdiri di depan pintu istana itu.
Seorang pengawal istana membukakan pintu untuknya seolah – olah sudah tahu
kedatangannya.
“ Silahkan masuk, Nona.
Tuan Putri sudah menunggu di dalam,”kata pengawal itu.
Entah mengapa Anggi
menurut ucapan pengawal begitu saja. Pengawal itu mengantarkannya masuk ke
dalam istana untuk menemui tuan putri yang disebutkan. Di dalam istana itu
banyak orang yang berpakaian bagus dan indah. Mereka sedang menikmati pesta.
Berbagai makanan danminuman yanglezat tersaji di sana. Di tengah keramaian
pesta, seorang gadis kecil menarik tangan Anggi. Gadis kecil itu berpakaian
indah pula layaknya seorang putri. Dia mengajak Anggi berjalan diantara
kerumunan banyak orang. Dia mengajaknya mengambil beberapa potong kue dan
sepiring masakan yang tersaji di meja. Setelah mereka berdua menikmati makanan,
putri itu mengajak Anggi berkeliling istana. Mereka duduk di sebuah taman
istana yang penuh dengan bunga – bunga indah dengan kupu – kupu di sekitarnya.
Anggi dan tuan putri saling bercerita dan bercanda. Mereka tertawa besama seakan
– akan sudah berteman lama.
Anggi merasakan
tubuhnya lelah. Tuan putri sepertinya mengetahui akan hal itu. Tuan putri
mengajak Anggi masuk kamar pribadinya dan
menyuruhnya untuk beristirahat. Tanpa berpikir panjang Anggi langsung
saja merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk dalam kamar itu. Dalam tidurnya
dia bermimpi sedang bermanja – manja dengan ibunya. Ibu membelai rambutnya
sambil bercerita. Anggi merasa nyaman tidur di pangkuan ibunya.
“Bangunlah, Sayang.
Sudah waktunya kamu pulang.” kata ibu Anggi.
Seketika itu Anggi
terbangun. Dia memanggil – manggil ibunya. Di sampingnya sudah ada tuan putri
duduk di tepi tempat tidur. Anggi mengungkapkan keinginannya untuk pulang. Dia
sudah rindu sekali kepada ibunya.
“Tidak boleh,” kata
tuan putri melarang Anggi pulang.
Tuan putri itu
mengatakan bahwa Anggi harus menemani dia selamanya di istana. Dia berjanji
akan memenuhi semua keinginan Anggi. Anggi menolak permintaan tuan putri.Tuan
putri tidak menghiraukan penolakan itu dan meninggalkan Anggi sendiri dalam
kamar. Kamar itu dikunci dari luar. Anggi menangis sesenggukan. Di tengah
kesedihannya itu, dia mendengar seseorang berbicara kepadanya.
“Jangan menangis, Anak
Manis,” ucap orang itu.
Anggi menoleh ke arah
sumber suara. Suara itu mengarah ke jendela kamar itu. Dilihatnya tidak ada
seorang pun di sana. Hanya seekor burung yang indah bertengger di jendela yang
terbuka itu. Anggi mendekat ke arah burung tersebut. Dia bertanya apakah burung
itu yang telah berbicara kepadanya. Burungpun menganggukkan kepalanya. Anggi
mengutarakan keinginannya untuk pulang ke rumah. Burung itu mengerti akan
kesedihan yang dirasakan Anggi. Kemudian dia menawarkan bantuan kepada Anggi.
Burung indah itu
menyuruh Anggi untuk naik ke jendela menggunakan kursi yang ada di dalam kamar,
kemudian memintanya untuk mengikuti arah terbang burung ajaib itu. Anggi
menuruti perkataan dari burung. Dia keluar melarikan diri dari istana melalui
jendela kamar. Ketika sampai di sebuah semak – semak, burung itu meminta Anggi
memanjat sebuah pohon. Dia melaksanakan semua perkataan burung. Untung saja
pohon itu tidak terlalu tinggi sehingga Anggi dengan mudah memanjatnya. Setelah
sampai di cabang pohon, alangkah terkejutnya Anggi. Dia melihat sebuah cermin
kecil yang sama ia temukan di taman tempat dia dan teman – temannya bermain.
Tangannya meraih cermin itu dan keanehan kembali terjadi. Cahaya yang keluar
dari cermin menariknya masuk ke dalam cermin.
“Anggi,” teriak teman –
teman Anggi secara bersamaan.
“Ternyata kamu
bersembunyi di sini,” kata salah satu teman Anggi.
Anggi hanya tersenyum. Tangannya
masih memegang cermin kecil. Sejenak dia teringat kejadian yang telah
dialaminya. Dia belum sempat untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada burung
penolongnya. Dia masih berpikir tentang kejadian itu nyata ataukah hanya
lamunannya saja karena sudah terlalu lama teman – temannya tidak menemukan
tempat persembunyiannya.
“Ah, sudahlah,” pikir
Anggi tidak mau ambil pusing.
Anggi meletakkan kembali
cermin kecil itu di tempat semula. Yang penting baginya sekarang adalah kembali
pulang untuk berkumpul bersama keluarga tercinta. Anggi kemudian mengajak teman
– temannya untuk pulang karena hari sudah siang. Mereka terlihat senang sekali
menikmati hari libur bersama teman – teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar